Nishfu Sya'ban
BULAN
SYA'BAN (bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Hijriyah) adalah bulan yang
penuh keutamaan namun sering dilupakan umat Islam karena bulan ini diapit oleh
dua bulan utama. Pertama, bulan Rajab yang teristimewa karena pada bulan ini
terjadi peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan kemudian mulailah
ada kewajiban melaksanakan shalat lima waktu. Kedua bulan Ramadhan, saat kaum
muslimin diwajibkan menjalankan puasa sebulan suntuk dan saat pahala kebaikan
dilipatgandakan.
Sedianya
bulan Sya’ban tidak dilupakan karena setelah mendapatkan banyak pelajaran
tentang Isra’ Mi’raj dan setelah membenahi shalat kita pada akhir bulan Rajab,
maka pada bulan Sya’ban saatnyalah mempersiapkan diri untuk memasuki bulan
Ramadhan.
Lagi
pula, dalam bulan Sya’ban sendiri terdapat berbagai keistimewaan. Diriwayatkan
dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT turun pada
malam Nishfu Sya'ban (pertengahan Sya’ban) ke langit dunia dan akan mengampuni
manusia lebih dari jumlah banyaknya bulu kambing dan anjing. [HR Tirmizi].
Mu'az
Ibn Jabal meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pada malam Nishfu Sya'ban.
Allah akan melihat semua makhluk-Nya, kemudian mengampuni mereka kecuali yang
musyrik dan orang yang memusuhi orang lain. [HR Sunan Ibn Majah].
Oleh
para ahli hadits, dua hadits di atas dianggap yang tidak terlalu valid
alias dla’if karena ada beberapa kesimpangsiuran dalam
periwayatan dan mengenai periwayat haditsnya (sanad). Namun guna
menyemangati hamba dalam menjalankan ibadah (fadlailul a’mal) para
ulama membolehkan hadits ini sebagai pegangan. Selain itu, diriwayatkan juga
Rasulullah SAW paling mencintai bulan ini dan beliau tidak melakukan puasa
(selain Ramadhan) sebanyak puasa di bulan ini [HR Ahmad dari Usamah bin
Zaid].
Nah,
ada perbedaan pendapat diantara umat Islam dalam menyikapi satu hal dalam bulan
ini, yaitu yang tersebut dalam hadits di atas sebagai Nishfu Sya’ban. Nishfu
artinya setengah atau pertengahan. Nishfu Sya'ban berarti pertengahan bulan
Sya'ban atau malam tanggal 15 Sya'ban dan esok harinya. Sebagian besar umat
Islam menjalankan berbagai macam ibadah pada malam nisfu sya’ban, namun umat
Islam yang lain ada yang tidak sepakat dan bahkan menganggap ibadah yang telah
dilakukan oleh umat Islam pada malam Nishfu Sya’ban itu sebagai ibadah yang
menyimpang atau mengada-ngada (bid’ah) karena tidak dicontohkan atau
diperintahkan oleh Nabi secara langsung.
Ibn
al-Jauzi memopulerkan hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi SAW telah bersabda:
Siapa yang melakukan shalat pada malam Nishfu Sya'ban sebanyak dua belas rakaat
dan membaca qul huwallahu
ahad (Surat al-Ihlas) tiga puluh
kali pada setiap rakaatnya, ia tidak akan keluar dari dunia ini sebelum melihat
tempat duduknya di dalam surga dan memberi syafa'at sepuluh orang ahli
keluarganya yang seluruh masuk neraka.
Di
dalam hadits ini ada enam orang perawinya yang identitasnya kurang lengkap
(majhul), yaitu: Ahmad Ibn 'Ali Al-Khatib, Abu Sahl 'Abd As-Samad Ibn
Muhammad Al-Qantari, Abu Al-Hasan 'Ali Ibn Ahmad Al-Yunani, Ahmad Ibn 'Abd Allah
Ibn Dawud, Muhammad Ibn Jabhan, dan 'Umar Ibn Ar-Rahim.
Hadits
lain ditakhrij oleh oleh Imam As-Suyuti bahwa Ibrahim meriwayatkan 'Ali Ibn Abi
Talib melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya'ban berdiri lalu beliau melakukan
shalat empat belas rakaat. Setelah selesai lalu Nabi duduk kemudian membaca
ummul Qur'an (Surat Al-Fatihah) empat belas kali, qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) empat belas kali, ayat
kursi satu kali. Ketika Nabi selesai shalat Ali bertanya tentang apa yang telah
dia lihat. Rasulullah SAW lalu bersabda: "Siapa yang melakukan yang seperti apa
yang telah engkau lihat, adalah baginya seperti dua puluh kali mengerjakan haji
yang mabrur (sempurna), puasa dua puluh tahun yang maqbul (diterima), dan jika
ia puasa pada siangnya, ia seperti puasa enam puluh tahun yang sudah lalu dan
setahun yang akan datang.
Hadits
yang tersebut di atas juga menyandung tujuh orang perawinya yang majhul bahkan
ada seorang perawi yang dianggap sebagai pemalsu hadits yaitu Muhammad Ibn
al-Muhajir sebagaimana penilaian yang dikemukakan oleh As-Suyuti sendiri.
Dengan
demikian hadits-hadits yang menjelaskan ibadah yang dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad SAW seperti di atas adalah dla’if. Para ulama menyatakan bahwa hadits
dla’if dapat diamalkan dan diikuti sebatas sebagai penyemangat ibadah
(fadailul a'mal), berisi nasihat-nasihat dan cerita-cerita baik, bukan
untuk menentukan halal dan haram dan tidak berhubungan dengan sifat-sifat Allah
SWT. Pendapat ini diperpegangi oleh Ahmad Ibn Hanbal, an-Nawawi, Ibn Hajar
al-Asqalani, As-Suyuti, dan lainnya.
Perdebatan di kalangan umat Islam
juga semakin mendalam ketika ada kalangan umat Islam lainya yang tidak
menyia-nyiakan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan beberapa keutamaan seperti
membaca surat yasin dan tahlil. Bagi kalangan yang terlalu kaku menganggap
ibadah ini mengada-ngada karena jelas-jelas tidak ada hadits yang dloif
sekalipun. Kalangan yang tersebut barusan tidak melakukan ibadah apapun yang
pada waktu-waktu tertentu tidak dilakukan, diperintahkan atau dianjurkan oleh
Nabi Muhammad SAW. (A. Khoirul Anam)
Comments