NU Bukan Demi Kekuasaan
Sebagai ormas terbesar dengan jumlah anggota mencapai 35 juta orang, warga NU tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan. Ia juga ingin menjaga agar Umat Islam, terutama kaum nahdliyin, tidak terkotak-kotak dalam politik aliran. Namun, bila ada warga NU yang ingin aktif di politik, sama sekali tidak ada halangan. Tetapi, tidak membawa bendera NU secara kelembagaan dalam kiprah politiknya. Paling tidak, hal itu berlaku untuk masa sekarang.
Namun
menurutnya, sepanjang mereka membawa visi nasional Indonesia secara utuh, akan
disambut baik. NU akan merespons siapapun ketika yang dibicarakan itu masalah
nasional dan utuh. Ketika mereka melakukan (atau) tampil sebagai partisan
politik, itu ya terserah anggota saya, mau pilih atau tidak.
Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi dalam menjalankan
organisasinya memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan
mengubah diri menjadi partai politik (parpol) pada Pemilu 2004. Menurut dia,
pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi
NU.
Pengalaman
pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata
Muzadi menjadi pertimbangan signifikan dari pengurus besar untuk mengubah bentuk
organisasi itu. Waktu itu, kata Muzadi yang sempat menjadi Ketua NU Cabang
Malang, kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legislatif. Sementara kerja
NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan intelektual umat
terabaikan.
Menjelang
Pemilu 2004, NU didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik.
Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin),
tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian
banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan
dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut
memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU
akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.
Mengenai
pemimpin bangsa, menurut Muzadi, NU itu tidak berpikir bagaimana mengajukan
calon dari NU. Tapi, yang dipikirkan, adakah calon dari mana pun yang mampu
melakukan recovery, penyembuhan terhadap Indonesia. Hal itu menurutnya harus
lebih dulu dipikirkan daripada intern NU, apalagi ramai-ramai membuat NU terjun
langsung di dunia politik.
Munculnya
konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga pemerintah
dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang harus
diselesaikan. Bila menyangkut konflik antaragama, ia mengatakan NU telah
melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin masalah itu selesai hanya
dengan peran satu kelompok saja. Harus melibatkan keduanya. Itu bila konflik
ingin dituntaskan.
Hasyim
dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang
pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup "nasionalis" dan
pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim
ikhlas
melakukan.
Itu sebabnya, dalam kunjungan di AS ini, Hasyim benar-benar seperti mengabdikan
diri bagi kepentingan lebih besar.
Salah
satunya ia tunjukkan dalam bentuk memberikan penjelasan kepada dunia
internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat,
kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan
internasional.
Ketika
terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC 11 September 2001, di mana AS langsung
menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan
kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat
Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai.
Hasyim
Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di
Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu
perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali dengan
AS.
Makin
banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan
internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan
ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini, kerja sama internasional
jauh lebih berfaedah daripada keterasingan internasional.
Hasyim
Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat diundang pemerintah AS untuk
memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup
gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat
gambaran itu langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga
bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam
Indonesia kepada pihak luar.
Kyai Haji Ahmad Hasyim Muzadi (lahir di Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944; umur 70 tahun) adalah seorang tokoh Islam Indonesia dan mantan ketua umum Nahdlatul Ulama yang menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 19 Januari 2015[1]. Ia juga pernah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam di Malang, Jawa Timur, sebelumnya dia sempat mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Darussalam gontor (1956 - 1962).
Kyai Haji Ahmad Hasyim Muzadi (lahir di Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944; umur 70 tahun) adalah seorang tokoh Islam Indonesia dan mantan ketua umum Nahdlatul Ulama yang menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 19 Januari 2015[1]. Ia juga pernah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam di Malang, Jawa Timur, sebelumnya dia sempat mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Darussalam gontor (1956 - 1962).
No comments:
Post a comment