Karya :
SYEIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN
Penerjemah :
MUHAMMAD YUSUF HARUN, MA.
Murajaah :
MUHAMMADUN ABD HAMID, MA
DR.MUH.MU’INUDINILLAH BASRI, MA
FIR'ADI NASRUDDIN ABDULLAH, LC
ERWANDI TARMIZI
DAFTAR ISI:
MATERI
Pendahuluan
Bahasan Pertama :
Hukum orang yang meninggalkan shalat
a. Dalil-dalil dari Al-Qur'an
b. Dalil-dalil dari As-Sunnah
Pertanyaan-pertanyaan & jawabannya
Bahasan Kedua:
Konsekwensi hukum karena riddah
a. Konsekwensi hukum bersifat duniawi
b. Konsekwensi hukum bersifat ukhrawi
Penutup
Segala pujian hanya milik Allah Ta'ala kita memuji-Nya,
meminta pertolongan,memohonkan ampunan dan bertaubat kepada-Nya.Kita memohon
perlindungan kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dari keburukan amalan-amalan
yang telah kita perbuat. Barang siapa yang telah mendapatkan hidayah Allah,
maka tak seorangpun yang dapat menyesatkan jalannya dan siapa yang telah
disesatkan-Nya maka tiada seorangpun yang mampu memberikan sinar petunjuk
kepadanya.
Saya bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang berhak disembah
melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba Allah dan utusan-Nya, semoga shalawat dan salam Allah sentiasa
tercurahkan kepada beliau, keluarga dan sahabat sahabatnya dan siapa yang
mengikutinya dengan baik hingga akhir zaman, amiiin.
Wa ba'du:
Sungguh, banyak di antara kaum muslimin sekarang ini
yang meremehkan masalah shalat dan melalaikannya, dan bahkan ada yang
meninggalkannya sama sekali, karena menganggapnya hal yang sepele.
Oleh karena masalah ini termasuk salah satu masalah besar,
yang melanda umat pada saat ini, dan menjadi ajang perbedaan pendapat di
kalangan para ulama dan para imam mazhab dari dulu hingga kini, maka penulis ingin
memberikan sumbangsihnya dalam permasalahan tersebut melalui tulisan yang
sederhana ini.
Pembicaraan tentang masalah ini akan diringkas dalam
dua bahasan:
Pertama :
hukum orang yang meninggalkan shalat.
Kedua :
konsekwensi hukum karena riddah (keluar dari Islam), disebabkan karena meninggalkan shalat, atau
sebab lainnya.
Semoga Allah subhaanahu
wa ta’aala dengan taufiq-Nya menunjukkan
kita semua kepada kebenaran.
1
HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat
besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang. Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,
yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman
mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan:
“Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka
berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam
hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman
mati”.
Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan,
maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Tentang
sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada
Allah.” (QS. As Syuura: 10).
Dan Allah juga berfirman:
“Jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” ( QS. An Nisa’: 59 ).
Oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat,
ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing
pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari
kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam
masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara keduanya, yaitu Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada
Al Qur’an dan As Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah
keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan
kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.
Pertama : Dalil dari Al-Qur'an:
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah ayat 11:
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara saudaramu seagama”. (QS. At Taubah: 11).
Dan dalam surat Maryam ayat 59-60, Allah berfirman:
“Lalu
datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun”. (QS.
Maryam: 59-60).
Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam
surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya: "kecuali
orang yang bertaubat, beriman …”.
Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat
dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang-orang musyrik telah menentukan tiga
syarat:
• Hendaklah mereka bertaubat dari
syirik.
• Hendaklah mereka mendirikan
shalat, dan
• Hendaklah mereka menunaikan
zakat.
Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan
shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama
dengan kita.
Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak
menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.
Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak
ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama; tidak
dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat qishash karena
membunuh:
“Maka
barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)”. (QS. Al Baqarah: 178).
Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh
dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh
dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah
neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS.
An Nisa’: 93).
Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin
yang berperang:
“Dan jika ada
dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara
keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
adil, sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu…”. (QS. Al Hujurat: 9).
Di sini Allah subhaanahu
wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara
pihak pendamai dan kedua pihakyang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk
kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Menghina
seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam,
sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan
sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua
belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.
Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat
adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan
kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan
keluar dari Islam) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya,
sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa
orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian
yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?
Jawabnya adalah: Orang yang tidak menunaikan zakat
adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu
pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah.
Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang
mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana
yang terdapat dalam hadits hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan di
bagian akhir hadits:
“ … Kemudian
ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim
dalam bab: “dosa orang yang tidak mau membayar
zakat”.
Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak
menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka
tidak akan ada jalan baginya menuju surga.
Dengan demikian manthuq
(yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan
dari pada mafhum (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah
tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.
Kedua: dalil dari As Sunnah
1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
(batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat”.(HR. Muslim, dalam kitab:
Al-Iman) .
2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perjanjian
antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka
benar benar ia telah kafir”. (HR.Abu Daud, Turmudzi, An
Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran
yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir,
dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama
dengan aturan orang Islam. Karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan
perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.
3- Diriwayatkan dalam shahih Muslim, dari Ummu
Salamah radliallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada
yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukannya,
barangsiapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barangsiapa yang menolaknya
selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan
selamat), para sahabat bertanya: bolehkah kita memerangi mereka?
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak, selama mereka mengerjakan
shalat.”
4- Diriwayatkan
pula dalam shahih Muslim, dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu
sukai dan merekapun menyukai kamu, serta mereka mendo'akanmu dan kamupun
mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang
kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu,
beliau ditanya: ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang? Beliau
menjawab: "tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits yang
terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin
dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh
memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang
nyata, yang bisa kita jadikan bukti di hadapan Allah nanti, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengajak kami, dan kamipun membai'at beliau, di antara bai’at yang
diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan
taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan,
dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang
orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau:”
kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada buktinya
bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini,
maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk menentang
dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terangterangan yang
bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.
*****
Tidak ada satu
nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan
shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash
yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya,
namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu
sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau
disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk
meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut
dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab
dalildalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat
khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.
Jika ada
pertanyaan: Apakah nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena
mengingkari hukum kewajibannya?
Jawab: Tidak
boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:
Pertama:
Menghapuskan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai
dasar hukum.
Allah telah
menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar
mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar
mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak
berfirman: "Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad
shallallahu
‘alaihi wa sallam pun tidak bersabda: "Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan
dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara
kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang
mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
Seandainya
pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima
pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al
Qur’an.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al
Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …”. (QS. An Nahl: 89).
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al
Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka …”. (QS. An Nahl: 44).
Kedua: Menjadikan
ketentuan yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum. Mengingkari
kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa
alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak
mengerjakannya.
Kalau ada
seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat,
rukun, dan halhal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat
tersebut, tanpa ada suatu alasan apapun, maka orang tersebut telah kafir,
sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian
jelaslah bahwa tidak benar jika nash-nash tersebut dikenakan kepada orang yang meninggalkan
shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar
dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat
Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita:
“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun,
dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar
dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam”.
Demikian pula,
jika hadits ini kita kenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam
nash-nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Hukum ini
bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barangsiapa yang meninggalkan
salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya, maka ia telah
kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui. Karena orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil naqli (Al -Qur’an dan As Sunnah),
maka menurut dalil 'aqli nadzari (logika) pun demikian.
Bagaimana
seseorang dikatakan memiliki iman, sementara dia meninggalkan shalat yang
merupakan sendi agama. Dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya
menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan
dan mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya menuntut
kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya.
Dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi
iman yang tersisa pada dirinya.
Jika ada
pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat
diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (yang mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah
kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang
mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba:
“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya
merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi
orang yang telah mati”.
“Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan
memeranginya adalah kekafiran”.
Jawab: Pengertian
seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena seberapa
alasan:
Pertama : Bahwa
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara
kekafiran dan keimanan, antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan
batas ialah yang membedakan apa saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari
yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan, dan tidak bercampur
antara yang satu dengan yang lain.
Kedua : Shalat
adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya
berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu
sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang
mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.
Ketiga: Di sana
ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah
kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam.
Oleh karena itu
kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga
nash-nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.
Keempat:
Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang meninggalkan shalat beliau
bersabda:
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang
dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”.
(HR. Muslim,
dalam kitab al iman).
Di sini digunakan
kata “Al ”, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan
penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata kerja, atau
bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran
mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama "Iqtidha ashshirath al mustaqim" cetakan As Sunnah al
Muhammadiyah, hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya
merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi
orang mati”.
Ia mengatakan:
sabda Nabi “Keduanya merupakan kekafiran” artinya: kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang
masih terdapat pada manusia, jadi kedua sifat ini adalah suatu kekafiran,
karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih
terdapat pada manusia.
Namun, tidak
berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk
kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga
terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang
terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min.
Penggunaan kata
“Al Kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “Al”) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang
dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”. (HR. Muslim, dalam kitab al
iman).
Berbeda dengan
kata “Kufr” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “Al”) yang digunakan dalam kalimat
positif.
*****
Apabila sudah
jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam,
berdasarkan dalildalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh
Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy
Syafi'i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman
Allah subhaanahu wa ta’aala :
“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal
shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun”. (QS. Maryam: 59-60).
Disebutkan pula
oleh Ibnu Al Qayyim dalam “Kitab Ash Shalat” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada
dalam madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri.
Dan pendapat
inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan
bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.
Abdullah bin
Syaqiq mengatakan: ”Para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum berpendapat bahwa tidak ada satupun
amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Turmudzi
dan Al Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim).
Ishaq bin
Rahawaih rahimahullah, seorang Imam terkenal mengatakan: “Telah dinyatakan dalam hadits
shahih dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,
dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa
orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat
waktunya adalah kafir.”
Dituturkan oleh
Ibnu Hazm rahimahullah bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin
Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata:
“Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi
pendapat mereka ini”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri
dalam kitabnya "At Targhib Wat Tarhib", dan ada tambahan lagi dari para sahabat yaitu
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut: “dan
diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih,
Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani,
Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan
lain-lainnya.”
Jika ada
pertanyaan: Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang
berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?
Jawab: Tidak
disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak
kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang
semisalnya.
Siapapun yang
memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa
dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan
dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Bagian pertama:
Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya
berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak
membawa hasil.
Bagian kedua:
Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut
dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu
firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu yang Dia
kehendaki”. (QS. An Nisa’: 48).
Firman Allah yang
artinya: “dosa-dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “dosa yang selain syirik”,
berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan
Rasul-Nya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang
yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.
Andaikata kita
menerima bahwa firman Allah yang artinya adalah “dosa-dosa selain syirik”, niscaya
inipun termasuk dalam bab Al Amm Al Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus), dengan adanya nashnash lain
yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk
dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.
Bagian ketiga:
Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan
kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Contohnya: Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,
kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Inilah salah satu
lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah,
Ubadah bin Shamit dan Itban bin Malik radhiallahu ‘anhum.
Bagian keempat:
Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalkan
shalat.
Contohnya: Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu:
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan
ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari
api neraka.”
Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan
oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan
ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari
api neraka”. (HR. Bukhari).
Dengan
dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat dengan keikhlasan niat dan
kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan,
karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan
keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja,
karena shalat merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan
Tuhan.
Maka apabila ia
benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang
dapat menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang
menjadi penghalangnya.
Demikian pula
orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk
hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan
shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.
Bagian kelima:
Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang
untuk meninggalkan shalat.
Contohnya: Hadits
riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia menuturkan bahwa Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang
ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia,
yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan
orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun
menyatakannya (seperti mereka)”.
Shilah berkata
kepada Hudzaifah:” Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilaha Illallah”, bila mereka tidak tahu apa
itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah radhiallahu ‘anhu memalingkan mukanya dengan
menjawab:” wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”,
berulang-kali dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan
sambil menatapnya.
Orang-orang yang
selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dima'afkan
untuk tidak melaksanakan syari'at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya,
sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja,
kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum
diperintahkannya syari'at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk
mengerjakan syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum
sempat mengenal syari'at ia meninggal dunia.
Kesimpulannya,
bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak
kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan
dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir,
karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan
kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian
tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang
menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat khusus
dengan adanya nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat.
Dengan demikian
jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil
yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus
dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai dengan
prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat (alasan) nya”.
Download File PDF (google drive)
Download File PDF (google drive)
No comments:
Post a comment