2
KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAH
YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA
Ada beberapa
kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena
riddah (keluar dari Islam):
Pertama :Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Duniawi :
1- Kehilangan haknya sebagai wali.
Oleh karena itu,
dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan
persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan
wali untuk anak-anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah
seorang putrinya atau
putri orang lain
yang berada dibawah kewaliannya.
Para ulama fiqh
kita -Rahimahumullah– telah menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang kecil maupun
besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan
wanita muslimah, mereka berkata: “Tidak sah orang kafir menjadi wali bagi seorang
wanita muslimah”.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “ Tidak sah suatu
pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan
kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan
yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtadan dari Islam.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan tidak ada yang benci kepada agama
Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri …” (QS. Al Baqarah: 130).
2- Kehilangan haknya untuk
mewarisi harta kerabatnya.
Sebab orang kafir
tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh
mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari
Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang
kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim”. (HR.Bukhari dan Muslim).
3- Dilarang baginya untuk memasuki
kota Makkah dan tanah haram.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang-
orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram
sesudah tahun ini …” (QS. At Taubah: 28).
4- Diharamkan makan hewan
sembelihannya. Seperti onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk
syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya
adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani), adapun orang murtad, paganis, Majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan
mereka tidak halal.
Al Khazin dalam
kitab tafsirnya mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan
orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik seperti kaum musyrikin Arab, para
penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai al kitab, haram hukumnya.”
Dan Imam Ahmad
mengatakan: “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain
demikian, kecuali orang-orang ahli bid’ah.”
5- Tidak boleh dishalatkan
jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala: “Dan janganlah kamu
sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah
kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik”. (QS. At Taubah: 84).
Dan firman-Nya:
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orangorang musyrik
itu adalah penghuni neraka Jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada
Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah
diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa
bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At Taubah: 113-114).
Do'a seseorang
untuk memintakan ampun dan rahmat bagi orang yang mati dalam keadaan kafir,
apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam do'a, dan merupakan suatu
bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan terhadap tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman.
Bagaimana mungkin
orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendo'akan orang yang mati dalam
keadaan kafir, agar diberi ampunan dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah?
Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Barangsiapa yang menjadi musuh Allah,
Malaikat malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya
Allah adalah musuhnya orang-orang kafir”. (QS. Al Baqarah: 98).
Dalam ayat ini,
Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh orang-orang yang kafir. Yang
wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena
firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada
bapak dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah,
kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”
. (QS. Az Zukhruf:
26 –27).
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka
berkata kepada kaum mereka:
“Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Untuk mencapai
derajat demikian adalah dengan mutaba’ah (meneladani) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan
Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”. (QS. At Taubah: 3).
6- Dilarang menikah dengan wanita
muslimah.
Karena dia kafir,
dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan
ijma’. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suamisuami mereka) orang-orang kafir, mereka tidak halal bagi
orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka …” (QS. Al Mumtahanah: 10).
Dikatakan dalam
kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592:
“Semua orang
kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama,
bahwa wanita-wanita dan sembelihan-sembelihan mereka haram bagi orang Islam …,
dan wanita-wanita yang murtad (keluar dari Islam) ke agama apapun haram untuk
dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya
itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka
kemungkinan bisa dihalalkan.”
(Seperti; wanita
yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk
dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab
ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent).
Dan disebutkan
dalam bab “orang murtad”, jilid 8, hal 130: “Jika dia kawin, tidak sah
perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama
tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan
pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”
Sebagaimana
diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita
yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki-laki yang murtad.
Dikatakan pula
dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298: “Apabila salah seorang dari suami
istri murtad sebelum si istri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika
itu, dan masing-masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika
ia murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat: pertama: segera dipisahkan,
kedua: ditunggu sampai habis masa iddah.”
Dan disebutkan
dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639:
“Batalnya
pernikahan karena riddah sebelum si istri digauli adalah pendapat yang dianut
oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi riddah setelah digauli, maka batallah
pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan
menurut pendapat Imam Syafi'i: ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada
dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian
disebutkan pula pada halaman 640: “Apabila suami istri itu sama-sama murtad,
maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad,
jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika
terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa
iddah? Ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.
Selanjutnya
disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal
berdasarkan istihsan (kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan
tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus, pent), karena dengan
demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama-sama
beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh pengarang Al Mughni dari segala
segi dan aspeknya.
Apabila telah
jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki-laki atau perempuan
yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari
Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa
seseorang apabila tidak melaksanakan shalat, dan mengawini seorang wanita
muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu
dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak
shalat.
Hal ini berbeda
dengan pernikahan orang-orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti
seorang lakilaki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian si istri masuk
Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi
jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu:
apabila si suami
masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi istrinya, tetapi apabila
telah habis masa iddahnya si suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya
terhadap istrinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah
batal, sejak si istri masuk Islam.
Pada zaman Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama
istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika
terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti
apabila suami istri itu berasal dari agama Majusi dan terdapat hubungan
kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka
kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua,
karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.
Masalah ini tidak
seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat,
kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal
bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di
atas, sekalipun orang itu awalnya kafir bukan karena murtad.
Untuk itu, jika
ada seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya
batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki-laki itu masuk Islam
dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang
baru.
7- Hukum anak orang yang
meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi pihak istri,
menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu
tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan
kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.
Sedang menurut
pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan
pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada bahasan
pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu:
• Jika si suami tidak mengetahui
bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu
adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami istri yang
dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya,
sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (yang meragukan),
dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab.
• Namun jika si suami mengetahui
serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan
kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang
dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan
baginya.
Kedua: Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Ukhrawi:
1- Dicaci dan
dihardik oleh para malaikat.
Bahkan para
malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Kalau kamu melihat ketika para malaikat
mencabut nyawa orang-orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka
(dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang membakar”, (tentulah kamu akan
merasa ngeri). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri,
sesungguhnya Allah sekalikali tidak menganiaya hamba-Nya”. (QS. Al Anfal: 50–51).
2- Pada hari
kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia
termasuk dalam golongan mereka.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“(Kepada para malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah
orang-orang yang dzalim beserta orang-orang yang sejenis mereka dan apa-apa
yang menjadi sesembahan mereka, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka
jalan ke neraka”. (QS.Ash Shaffat: 22– 23).
3- Kekal untuk
selama-lamanya di dalam neraka.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang
kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak
(pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam
neraka, mereka berkata:"Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah,
dan taat (pula) kepada Rasul ”. (QS. Al Ahzab: 64 – 66).
PENUTUP
Demikianlah apa
yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah
melanda banyak umat manusia.
Pintu taubat
masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku
se-Islam, segeralah bertaubat kepada Allah ta'ala, dengan ikhlas semata-mata
karena-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal keta'atan.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman
dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan,
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan orang yang bertaubat
dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah
dengan taubat yang sebenar-benarnya”. (QS. Al Furqan: 70 – 71).
Semoga Allah
melimpahkan taufik-Nya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita
semua jalan- Nya yang lurus, jalan orang-orang yang dikaruniai ni’mat oleh
Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang-orang yang dimurkai atau orang-orang
yang tersesat.
Selesai ditulis
oleh:
Al faqir Ilallahi ta’ala
Muhammad bin Shaleh Al Utsaimain (Rahimahullah)
Pada tanggal 23 Shafar 1407 H.__
No comments:
Post a Comment