Puasa - Part V
FATWA-FATWA PENTING
A. FATWA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM SEKITAR
PUASA:
Seorang sahabat bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah,
Saya lupa sehingga makan dan minum, padahal saya sedang berpuasa." Beliau
menjawab :
"Allah telah memberimu makan dan minum" (HR. Abu
Daud). Dan dalam riwayat Ad-Daruquthni dengan sanad shahih disebutkan
"Sempurnakan puasamu dan kamu tidak wajib mengqadhanya,
sesungguhnya Allah telah memberimu makan dan minum" peristiwa itu terjadi
pada hari pertama di bulan Ramadhan.
Pernah juga beliau ditanya tentang benang putih dan hitam,
jawab beliau :
"Yaitu terangnya siang dan gelapnya malam." (HR.
An-Nasa 'i).
"Seorang sahabat bertanya: "Saya mendapati shalat
shubuh dalam keadaan junub, lain saya berpuasa -bagaimana hukumnya-? Jawab
beliau :
"Aku juga pernah mendapati Shubuh dalam keadaan junub,
lantas aku berpuasa. "Ia berkata: "Engkau tidak seperti kami wahai
Rasulullah, karena Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang lalu ataupun
yang belakangan. Nabi shallallahu halaihi wasallam menjawab : "Demi Allah,
sungguh aku berharap agar aku menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan
paling tahu akan sesuatu yang bisa dijadikan alat bertakwa. "(HR. Muslim).
Beliau pernah ditanya tentang puasa di perjalanan, maka
beliau menjawab :
"Terserah Kamu, boleh berpuasa boleh pula berbuka
"(HR. Muslim).
Hamzah bin 'Amr pernah bertanya: "Wahai Rasulullah,
saya mampu berpuasa dalam perjalanan, apakah saya berdosa?" Beliau
menjawab :
"Ia adalah rukhshah (keringanan) dari Allah,
barangsiapa mengambilnya baik baginya dan barangsiapa lebih suka berpuasa maka
ia tidak berdosa. " (HR. Muslim).
Sewaktu ditanya tentang meng-qadha' puasa dengan tidak
berturut-turut, beliau menjawab :
"Hal itu kembali kepada dirimu (tergantung
kemampuanmu), bagaimana pendapatmu jika salah seorang di antara kamu mempunyai
tanggungan hutang lalu mencicilnya dengan satu dirham dua dirham, tidakkah itu
merupakan bentuk pelunasan? Allah Maha Pemaaf dan Pengampun. " (HR.
Ad-DaYuquthni, isnadnya hasan).
Ketika ditanya oleh seorang wanita: "Wahai Rasulullah,
ibu saya telah meninggal sedangkan ia berhutang puasa nadzar, bolehkah saya
berpuasa untuknya? Beliau menjawab :
"Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki tanggungan
hutang lantas kamu lunasi, bukankah itu membuat lunas hutangnya? la berkata,
'Benar'. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Puasalah untuk ibumu.'
Hadits Muttafaq 'Alaih) (Lihat I'laarnul Muwaqqii'in 'An Rabbil 'Aalamiin, oleh
Ibnul Qayyim, 4/266-267)
B. SEBAGIAN FATWA IBNU TAIMIYAH
Beliau ditanya tentang hukum berkumur dan memasukkan air ke
rongga hidung (istinsyaq), bersiwak, mencicipi makanan, muntah, keluar darah
meminyaki rambut dan memakai celak bagi seseorang yang sedang berpuasa;
Jawaban beliau : "Adapun berkumur dan memasukkan air ke
rongga hidung adalah disyari'atkan, hal ini sesuai dengan kesepakatan para
ulama. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya juga melakukan hal
itu, tetapi beliau berkata kepada Al-Laqiit bin Shabirah :
"Berlebih-lebihanlah kamu dalam menghirup air ke hidung
kecuali jika kamu sedang berpuasa. " (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nasaa'i dan Ibnu Maajah serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarang istinsyaq
bagi orang yang berpuasa, tetapi hanya melarang berlebih-lebihan dalam
pelaksanaannya saja.
Sedangkan bersiwak adalah boleh, tetapi setelah zawal
(matahari condong ke barat) kadar makruhnya diperselisihkan, ada dua pendapat
dalam masalah ini dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad, namun belum ada dalil
syar'i yang menunjukkan makruhnya, yang dapat menggugurkan keumuman dalil
bolehnya bersiwak.
Mencicipi makanan hukumnya makruh jika tanpa keperluan yang
memaksa, tapi tidak membatalkan puasa. Adapun jika memang sangat perlu, maka
hal itu bagaikan berkumur, dan boleh hukumnya.
Adapun mengenai hukum muntah-muntah, jika memang disengaja
dan dibikin-bikin maka batal puasanya, tetapi jika datang dengan sendirinya
tidak membatalkan. Sedangkan memakai minyak rambut jelas tidak membatalkan
puasa.
Mengenai hukum keluar darah yang tak dapat dihindari seperti
darah istihadhah, luka-luka, mimisan (keluar darah dari hidung) dan lain
sebagainya adalah tidak membatalkan puasa, tetapi keluarnya darah haid dan
nifas membatalkan puasa sesuai dengan kesepakatan para ulama.
Adapun mengenakan celak (sipat mata) yang tembus sampai ke
otak, maka Imam Ahmad dan Malik berpendapat: Hal itu membatalkan puasa, tetapi
Imam Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat: hal itu tidak membatalkan. (Lihat
Majmu' Fataawaa, oleh Ibnu Taimiyah, 25/266-267. Wallahu A 'lam.
Ibnu Taimiyah menambahkan dalam "Al-Ikhtiyaaraat":
"Puasa seseorang tidak batal sebab mengenakan celak, injeksi (suntik), zat
cair yang diteteskan di saluran air kencing, mengobati luka-luka yang tembus
sampai ke otak dan luka tikaman yang tembus ke dalam rongga tubuh. Ini adalah
pendapat sebagian ulama. (Lihat Al Ikhtiyaraatul Fiqhiyah, hlm. 108) Wallahu A
'lam ':
C. SEBAGIAN FATWA SYAIKH ABDURRAHIMAN NASIR ASSA'DI
Beliau ditanya tentang orang yang meninggal sebelum melunasi
puasa wajibnya, bagaimana hukumnya?
Jawaban beliau: "Jika ia meninggal sebelum membayar
puasa wajibnya, seperti orang yang meninggal dalam keadaan berhutang puasa
Ramadhan, kemudian diberikan kepadanya kesehatan, namun dia belum sempat menunaikannya,
maka waijb baginya memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari sesuai
dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan. Menurut Ibnu Taimiyah, jika puasanya
diwakili maka sah hukumnya, hal ini kuat sumber hukumnya.
Kondisi kedua: Ia meninggal sebelum dapat nenunaikan
tanggungan hutangnya seperti sakit di bulan Ramadhan dan mati di
pertengahannya, sedangkan ia tidak berpuasa karena sakit tersebut atau bahkan
sakitnya berlangsung terus hingga ajalnya tiba. Hal ini tidak menjadikannya
wajib membayar kaffarah meskipun kematiannya setelah rentang waktu yang cukup
lama, karena ia tidak gegabah dan melalaikannya, demikian pula ia tidak
meninggalkannya kecuali adanya udzur syar'i. (Lihat Al Irsyaadu Ilaa Ma'rifatil
Ahkaam, hlm. 85-86.)
Dari Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa meninggal dunia sedangkan in punya
ranggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa menggantikannya. "(Muttafaq
'Alaih).
Hadits ini menunjukkan anjuran berpuasa kepada orang yang
masih hidup untuk si mayit, dan bahwasanya jika seseorang meninggal dalam
keadaan memiliki hutang puasa, maka boleh digantikan oleh walinya."
Imam Nawawi berkomentar: "Para ulama berbeda pendapat
tentang mayit yang memiliki tanggungan puasa wajib; seperti puasa Ramadhan,
qadha' dan nadzar ataupun yang lain. Apakah wajib diqadha untuknya?
Dalam masalah ini Imam Syafi'i memiliki dua pendapat, yang
terpopuler adalah, Tidak wajib diganti puasanya, sebab puasa pengganti untuk si
mayit pada asalnya tidak sah. Adapun pendapat kedua, 'Disunnahkan bagi walinya
untuk berpuasa sebagai pengganti bagi si mayit, hingga si mayit terbebas dari
tanggungannya dan tidak usah membayar kaffarah (memberi makan orang miskin
sesuai dengan bilangan puasa yang ditinggalkannya). Pendapat inilah yang benar
dan terbaik menurut keyakinan kami. Dan pendapat inipun dibenarkan oleh para
penelaah madzhab kami -yang menghimpun dan menyatukan disiplin ilmu fiqh dan
hadits- berdasarkan hadits-hadits shahih diatas. (Lihat Al Majmu'atul Jalilah,
hlm. 158.) Wallahu A 'lam. "
D. BEBERAPA FATWA ULAMA NEJED (ARAB SAUDI)
Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai mulai
kapan seorang anak yang menginjak dewasa diperintah melakukan ibadah puasa?
Beliau menjawab: "Anak yang belum dewasa jika ia mampu
berpuasa maka pantas diperintah melaksanakannya, dan bila meninggalkannya
diberi hukuman.
Syaikh Hamd bin Atiq ditanya tentang seorang wanita yang
mendapati darah sebelum terbenam matahari, apakah puasanya dinyatakan sah?
Beliau menj awab : "Puasanya tidak sempurna pada hari
itu."
Syaikh Abdulah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai orang
yang makan (berbuka) di bulan Ramadhan, bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab : "Orang yang makan di siang hari bulan
Ramadhan atau minum harus diberi pelajaran (dengan hukuman) supaya jera."
Syaikh Abdullah Ababathin ditanya tentang orang yang
berpuasa mendapatkan aroma sesuatu, bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab : "Semua aroma yang tercium oleh orang
yang sedang menunaikan ibadah puasa tidak membatalkan puasanya kecuali bau
rokok, jika ia menciumnya dengan sengaja maka batallah puasanya.
Tetapi jika asap rokok masuk ke hidungnya tanpa disengaja
tidak membatalkan, sebab amat sulit untuk menghindarinya. Wallahu A'lam"
Semoga sbalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, segenap keluarga dan sababatnya, amin.
ZAKAT FITRAH
Diantara dalil yang menganjurkan untuk menunaikan zakat
fitrah adalah :
1. Firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri
(dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat" (Al-A'la:
14-15)
2. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhu, ia berkata :
" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
mewajibkan zakat fitrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan
perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan
agar (zakat fituah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat
'Id (hari Raya) " (Muttafaq 'Alaih)
Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan
orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu sha' (+- 3 kg) dari bahan makanan
yang berlaku umum di daerahnya. Zakat tersebut wajib baginya jika masih
memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarganya selama sehari semalam.
Zakat tersebut lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih
bermanfaat bagi fakir miskin.
Adapun waktu pengeluarannya yang paling utama adalah sebelum
shalat 'Id, boleh juga sehari atau dua lari sebelumnya, dan tidak boleh
mengakhirkan mengeluaran zakat fitrah setelah hari Raya. Dari Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhu :
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
mewajibkan zakat fihrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan
dan ucapan kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir miskin.
"Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat 'Id,
maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang membayarkannya setelah shalat 'Id
maka ia adalah sedekah biasa. "(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
(Dan diriwayatkan pula Al Hakim, beliau berkata : shahih
menurut kriteria Imam Al-Bukhari.)
Zakat fitrah tidak boleh diganti dengan nilai
nominalnya(*),(*)''' Berdasarkan hadits Abu Said Al Khudhri yang menyatakan
bahwa zakat fithrah adalah dari limajenis makanan pokok (Muttafaq 'Alaih). Dan
inilah pendapat jumhur ulama. Selanjutnya sebagian ulama menyatakan bahwa yang
dimaksud adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat yang melarang
mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa pada zaman Nabi
shallallahu alaihi wasallam juga terdapat nilai tukar (uang), dan seandainya
dibolehkan tentu beliau memerintahkan mengeluarkan zakat dengan nilai makanan
tersebut, tetapi beliau tidak melakukannya. Adapun yang membolehkan zakat
fithrah dengan nilai tukar adalah Madzhab Hanafi.
Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan bagi jamaah (sekelompok manusia) memberikan
jatah seseorang, demikian pula seseorang boleh memberikan jatah orang banyak.
Zakat fitrah tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada
fakir miskin atau wakilnya. Zakat ini wajib dibayarkan ketika terbenamnya
matahari pada malam 'Id. Barangsiapa meninggal atau mendapat kesulitan (tidak
memiliki sisa makanan bagi diri dan keluarganya, pen.) sebelum terbenamnya
matahari, maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah. Tetapi jika ia
mengalaminya seusai terbenam matahari, maka ia wajib membayarkannya (sebab ia
belum terlepas dari tanggungan membayar fitrah).
HIKMAH DISYARI'ATKANNYA ZAKAT FITRAH
Di antara hikmah disyari'atkannya zakat fitrah adalah :
a. Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah
memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-l\lya.
b. Zakat fitrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada
umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh
untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah
nikmat-Nya.
c. Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang
yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa. (Lihat Al Irsyaad Ila
Ma'rifatil Ahkaam, oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As Sa'di, hlm. 37. )
d. Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung
dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas, yaitu puasa merupakan
pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian
pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.
Ya Allah terimalah shalat· kami, zakat dan puasa kami serta
segala bentuk ibadah kami sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada Nabi
Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya. Amin.
HARI RAYA
Hari raya adalah saat berbahagia dan bersuka cita.
Kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin di dunia adalah karena Tuhannya,
yaitu apabila mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala
amalnya dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan
anugerah dan ampunan-Nya. Allah Ta 'ala berfirman :
"Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan. " (Yunus: 58).
Sebagian orang bijak berujar: "Tiada seorang pun yang
bergembira dengan selain Allah kecuali karena kelalaiannya terhadap Allah,
sebab orang yang lalai selalu bergembira dengan permainan dan hawa nafsunya,
sedangkan orang yang berakal merasa Senang dengan Tuhannya."
Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah,
kaum Anshar memiliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang
jauh lebih baik, (yaitu) 'Idul fitri dan 'Idul Adha (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i
dengan sanad hasan).
Hadits ini menunjukkan bahwa menampakkan rasa suka cita di
hari Raya adalah sunnah dan disyari'atkan. Maka diperkenankan memperluas hari
Raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang
tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa,
tetapi tidak menjadikannya lupa untuk ta'at kepada Allah.
Adapun yang dilakukan kebanyakan orang di saat hari Raya
dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainan
adalah tidak dibenarkan, karena hal itu tidak sesuai dengan yang disyari'atkan
bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Allah. Hari Raya tidak identik
dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi hari Raya
adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam beribadah.
Makanya Allah gantikan bagi umat ini dua buah hari Raya yang sarat dengan
hiburan dan permainan dengan dua buah Hari Raya yang penuh dzikir, syukur dan
ampunan.
Di dunia ini kaum mukminin mempunyai tiga hari Raya: hari
Raya yang selalu datang setiap minggu dan dua hari Raya yang masing-masing
datang sekali dalam setiap tahun.
Adapun hari Raya yang selalu datang tiap minggu adalah hari
Jum'at, ia merupakan hari Raya mingguan, terselenggara sebagai pelengkap
(penyempurna) bagi shalat wajib lima kali yang merupakan rukun utama agama
islam setelah dua kalimat syahadat.
Sedangkan dua hari Raya yang tidak berulang dalam waktu
setahun kecuali sekali adalah:
1. 'Idul Fitri setelah puasa Ramadhan, hari raya ini
terselenggara sebagai pelengkap puasa Ramadhan yang merupakan rukun dan asas
Islam keempat. Apabila kaum muslimin merampungkan puasa wajibnya, maka mereka
berhak mendapatkan ampunan dari Allah dan terbebas dari api Neraka, sebab puasa
Ramadhan mendatangkan ampunan atas dosa yang lain dan pada akhirnya terbebas
dari Neraka.
Sebagian manusia dibebaskan dari Neraka padahal dengan
berbagai dosanya ia semestinya masuk Neraka, maka Allah mensyari'atkan bagi
mereka hari Raya setelah menyempurnakan puasanya, untuk bersyukur kepada Allah,
berdzikir dan bertakbir atas petunjuk dan syari'at-Nya berupa shalat dan
sedekah pada hari Raya tersebut.
Hari Raya ini merupakan hari pembagian hadiah, orang-orang
yang berpuasa diberi ganjaran
puasanya, dan setelah hari Raya tersebut mereka mendapatkan
ampunan.
2. 'Idul Adha Oiari Raya Kurban), ia lebih agung dan utama
daripada 'Idul Fitri. Hari Raya ini terselenggara sebagai penyempurna ibadah
haji yang merupakan rukun Islam kelima, bila kaum muslimin merampungkan ibadah
hajinya, niscaya diampuni dosanya.
Inilah macam-macam hari Raya kaum muslimin di dunia,
semuanya dilaksanakan saat rampungnya ketakwaan kepada Yang Maha Menguasai dan
Yang Maha Pemberi, di saat mereka berhasil memperoleh apa yang dijanjikan-Nya
berupa ganjaran dan pahala. (Lihat Lathaa'iful Ma'arif, oleh Ibnu Rajab, hlm.
255-258)
PETUNJUK NABI DI HARI RAYA
Pada saat hari Raya 'Idul Fitri, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma -dengan bilangan ganjil
tiga, lima atau tujuh- sebelum pergi melaksanakan shalat 'Id. Tetapi pada 'Idul
Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru
memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
Beliau mengakhirkan shalat 'Idul Fitri agar kaum muslimin
memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrahnya, dan mempercepat
pelaksanaan shalat 'Idul Adha supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih
binatang kurbannya.
Mengenai hal tersebut, Allah Ta 'ala berfirman :
"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah
" (Al Kautsar: 2).
Ibnu Umar sungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat 'Id kecuali setelah
terbit matahari, dan dari rumah sampai ke tempat shalat beliau senantiasa
bertakbir.
Nabi shallallahu blaihi wasallam melaksanakan shalat' Id
terlebihdahulu baru berkhutbah, dan beliau shalat duaraka'at· Pada rakaat
pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut dengan Takbiratul Ihram, dan
berhenti sebentar di antara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir
tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas'ud
radhiallahu 'anhu, ia berkata: "Dia membaca hamdalah dan memuji Allah Ta
'ala serta membaca shalawat.
Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya
pada setiap bertakbir.
Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah
bertakbir membaca surat Al-Fatihah dan "Qaf" pada raka'at pertama
serta surat "Al-Qamar" di raka'at kedua.
Kadang-kadang beliau membaca surat "Al-A'la" pada
raka'at pertama dan "Al-Ghasyiyah" pada raka'at kedua. Kemudian
beliau bertakbir lalu ruku' dilanjutkan takbir 5 kali pada raka'at kedua lain
membaca Al-Fatihah dan surat. Setelah selesai beliau menghadap ke arah jamaah,
sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing, lalu beliau menyampaikan
khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
Beliau selalu melalui jalan yang berbeda ketika yang
terkenal sangat bersungguh-mengikuti sunnah Nabi shallallahu berangkat dan
pulang (dari shalat) 'Id.' Beliau selalu mandi sebelum shalat 'Id.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa memulai setiap
khutbahnya dengan hamdalah, dan bersabda :
"Setiap perkara yang tidak dimulai dengan hamdalah,
maka ia terputus (dari berkah). " (HR.Ahmad dan lainnya).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata :
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menunaikan shalat 'Id dua raka'at tanpa disertai shalat yang lain baik
sebelumnya ataupun sesudahnya. " (HR. Al Bukhari dan Muslim dan yang
lain).
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat 'Id itu hanya dua raka'at,
demikian pula mengisyaratkan tidak disyari'atkan shalat sunnah yang lain, baik
sebelum atau sesudahnya. Allah Mahatahu segala sesuatu, shalawat serta salam
semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, seluruh anggota keluarga dan
segenap sahabatnya.
KEUTAMAAN PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL
Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu
menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya)
seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi
shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa)
sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding
dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun
penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam
"Shahih" mereka.)
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan
enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun.
" (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau
miliki adalah shahih.")
Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam
hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap
hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung
dalam hadits Tsauban di muka.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat,
di antaranya :
1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan,
merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib,
berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti
perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan
perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang
dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal
itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya
puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti
Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang
bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada
sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian
melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas
terkabulnya amal pertama.
Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu
kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya
amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat
mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan
akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari
pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk
rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari
pengampunan dosa-dosa.
Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur
seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya
adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya
dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas
kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk
kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan
orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang
menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai
kembali "(An-Nahl: 92)
5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah
amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya
pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia
masih hidup.
Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang
cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari
peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang
berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama
berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk
bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali
melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap
ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.
Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang
bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan
berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar:
"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah
secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang
beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."
Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa
Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses
pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam
hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan
mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.
Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada
batasnya hingga maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman :
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal) " (Al-Hijr: 99)
Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah
serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada
Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena
hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap
dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang
mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya
doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala
kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.
Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan
salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan
sahabatnya.
RAHASIA PUASA
Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran
Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan
kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan
yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir
rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah Fil Islam
mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa
kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan.
a.Menguatkan Jiwa.
Dalam hidup hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi
oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya
meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta
merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi
hawa nafsu dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh
nafsu yang membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang
bersifat duniawi. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan,
malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan
hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari kepada Allah Swt sebagai Tuhan
yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan.
Allah memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang
artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya (QS 45:23).
Dengan ibadah puasa, maka manusia akan berhasil
mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan
demikian, manusia akan memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat
yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit
hingga segala do’anya dikabulkan oleh Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda yang
artinya:
Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak do’a mereka:
orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan do’a orang yang
dizalimi (HR. Tirmidzi).
b.Mendidik Kemauan.
Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang
sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu
terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus
mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu
besar.
Karena itu, Rasulullah Saw menyatakan: Puasa itu setengah
dari kesabaran. Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani
seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang
tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan
duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim
tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.
c.Menyehatkan Badan.
Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan
benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini
tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah Saw, tetapi juga sudah dibuktikan oleh
para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu
meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut
memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk
sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut
kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk
air dan sepertiga untuk udara.
d.. Mengenal Nilai Kenikmatan.
Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan
yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai
mensyukurinya. Dapat satu tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat
dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya.
Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya
sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh
sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.
Maka dengan puasa, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan
dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, tapi juga disuruh
merasakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada
kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah
terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa,
terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau
seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk
menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya
menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari
Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil.
Rasa syukur memang akan membuat nikmat itu bertambah banyak,
baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman yang
artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasati Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS 14:7).
e.Mengingat dan Merasakan Penderitaan Orang Lain.
Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada
kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab pengalaman
lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa
jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini,
semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada
kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini
masih belum teratasi, seperti penderitaan saudara-saudara
kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air serta
yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti di Chechnya, Kosovo,
Irak, Palestina dan sebagainya.
Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu,
sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan
demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang
menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan
menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian,
hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta,
kikir dan sebagainya. Allah berfirman yang artinya: Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 9:103).
SAMBUT DENGAN GEMBIRA.
Karena rahasia puasa merupakan sesuatu yang amat penting
bagi kita, maka sudah sepantasnyalah kalau kita harus menyambut kedatangan
Ramadhan tahun ini dengan penuh rasa gembira sehingga kegembiraan kita ini akan
membuat kita bisa melaksanakan ibadah Ramadhan nanti dengan ringan meskipun
sebenarnya ibadah Ramadhan itu berat.
Kegembiraan kita terhadap datangnya bulan Ramadhan harus
kita tunjukkan dengan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan Ramadhan tahun
sebagai momentum untuk mentarbiyyah (mendidik) diri, keluarga dan masyarakat
kearah pengokohan atau pemantapan taqwa kepada Allah Swt, sesuatu yang memang
amat kita perlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah Swt bagi bangsa kita
yang hingga kini masih menghadapi berbagai macam persoalan besar. Kita tentu
harus prihatin akan kondisi bangsa kita yang sedang mengalami krisis, krisis
yang seharusnya diatasi dengan memantapkan iman dan taqwa, tapi
malah dengan menggunakan cara sendiri-sendiri yang akhirnya
malah memicu pertentangan dan perpecahan yang justeru menjauhkan kita dari
rahmat dan keberkahan dari Allah Swt.
Comments