PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) KEDELAI
Persiapan lahan merupakan salah satu hal penting
yang harus diperhatikan selama bercocok tanam. Pada beberapa tanaman yang
bisa di ratoo, maka tidak diperlukan lagi olah tanam pada saat ratoon. Lalu
bagaimana dengan tanaman yang tidak bisa di ratoon? Tentu saja harus di olah
tanam supaya mendapatkan hasil yang optimal.
Tetapi adakalanya areal tanaman bekas tanaman
sebelumnya masih layak untuk langsung dilakukan penanaman. Hal ini karena
selain metode bercocok tanam, juga berhubungan dengan tanaman apa yang di
tanam. Seperti pada areal persawahan, ketika akan di tanam tanaman selang
(biasanya palawija), maka tidak perlu dilakukan olah tanah lagi. Selain
menghemat tenaga, biaya dan waktu, ternyata sisa tanaman padi (jerami) juga
mampu memberikan pupuk alami (dilihat dari biomassanya) dan juga mampu mencegah
gulma. Berikut ini tanaman yang menjadi contoh adalah padi dan kedelai.
|
1. Penyiapan lahan
Pada lahan sawah bekas tanaman padi, lahan tidak perlu
diolah (TOT), jerami dapat digunakan sebagai mulsa. Jerami dihamparkan sebanyak
5 ton/ha secara merata di permukaan lahan dengan ketebalan <10 cm, gunanya
untuk menjaga kelembaban tanah, mengurangi serangan lalat kacang, dan menekan
pertumbuhan gulma. Pada lahan yang baru pertama kali ditanami kedelai, benih
perlu dicampur dengan rhizobium. Apabila tidak tersedia inokulan rhizobium
(seperti Rhizoplus atau Legin), dapat digunakan tanah bekas tanaman kedelai
yang ditaburkan pada barisan tanaman. Pada lahan kering, pengolahan tanah perlu
optimal agar tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik, yaitu dua kali bajak dan
satu kali garu (diratakan). Gulma atau sisa tanaman dibersihkan pada saat
pengolahan tanah. Jika keadaan lahan masam, perlu diberi kapur bersamaan dengan
pengolahan lahan yang kedua atau paling lambat seminggu sebelum tanam dengan
cara menyebar rata.
2. Pemupukan sesuai kebutuhan tanaman.
Takaran pupuk berbeda untuk setiap jenis tanah,
berikan berdasarkan hasil analisis tanah dan sesuai kebutuhan tanaman. Rekomendasi
umum dosis pupuk kedelai adalah 50 kg urea, 75 kg SP36, dan 100-150 kg KCl per
hektar. Pupuk diberikan dengan cara ditugal atau dilarik 5-7 cm dari tanaman,
kemudian ditutup tanah, paling lambat 14 hari setelah tanam (HST).
Kedelai yang ditanam setelah padi sawah umumnya tidak memerlukan banyak pupuk. Penggunaan pupuk hayati seperti bakteri penambat N2 (Rhizobium) disesuaikan dengan kebutuhan, perhatikan waktu kadaluwarsa pupuk hayati. PUTK (Perangkat Uji Tanah Kering) dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam menetapkan takaran pupuk dan amelioran.
Kedelai yang ditanam setelah padi sawah umumnya tidak memerlukan banyak pupuk. Penggunaan pupuk hayati seperti bakteri penambat N2 (Rhizobium) disesuaikan dengan kebutuhan, perhatikan waktu kadaluwarsa pupuk hayati. PUTK (Perangkat Uji Tanah Kering) dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam menetapkan takaran pupuk dan amelioran.
3. Pemberian bahan organik.
Bahan organik berupa sisa tanaman, kotoran hewan,
pupuk hijau dan kompos (humus) merupakan unsur utama pupuk organik yang dapat
berbentuk padat atau cair. Kotoran sapi yang telah matang merupakan pupuk
organik yang potensial digunakan pada tanaman kedelai. Pemberian pupuk organik
dan pupuk kimia dalam bentuk dan jumlah yang tepat berperan penting untuk
keberlanjutan system produksi kedelai.
4. Amelioran
Pada lahan kering masam, enggunaan amelioran
ditetapkan berdasarkan tingkat kejenuhan Aluminium (Al) tanah dan kandungan
bahan organik tanah. Kejenuhan Al memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat
kemasaman (pH) tanah. Lahan kering masam perlu diberi kapur pertanian (dolomite
atau kalsit) dengan takaran sebagai berikut:
- pH tanah 4,5-5,3 → 2,0 t kapur/ha;
- pH tanah 5,3-5,5 → 1,0 t kapur/ha;
- pH tanah 5,5-6,0 →0,5 t kapur/ha.
Hasil kajian di desa Watu Agung, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, pengapuran menggunakan dolomit dilakukan dengan cara menyebar rata dengan dosis 1,5 ton/ha. Jika ditambah pupuk kandang 2,5 ton/ha, maka dosis kapur dapat dikurangi menjadi 750 kg/ha.
- pH tanah 5,3-5,5 → 1,0 t kapur/ha;
- pH tanah 5,5-6,0 →0,5 t kapur/ha.
Hasil kajian di desa Watu Agung, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, pengapuran menggunakan dolomit dilakukan dengan cara menyebar rata dengan dosis 1,5 ton/ha. Jika ditambah pupuk kandang 2,5 ton/ha, maka dosis kapur dapat dikurangi menjadi 750 kg/ha.
5. Pengairan pada periode kritis.
Periode kritis tanaman kedelai terhadap kekeringan
mulai pada saat pembentukan bunga hingga pengisian polong (fase reproduktif).
Jika tidak ada hujan, lahan perlu diairi pada awal pertumbuhan vegetatif (15-21
HST), saat berbunga (25-35 HST), dan saat pengisian polong (55-70 HST).
6. Panen tepat waktu
Panen dilakukan saat 95% polong telah berwarna coklat
atau kehitaman (warna polong masak) dan sebagian daun tanaman sudah rontok.
Panen dilakukan dengan cara memotong pangkal batang. Brangkasan kedelai hasil
panen langsung dikeringkan (dihamparkan) di bawah sinar matahari dengan
ketebalan sekitar 25 cm selama 2-3 hari (bergantung cuaca) menggunakan alas
terpal plastik, tikar atau anyaman bambu.
Sumber (dengan perubahan seperlunya) :
Comments