Di bawah ini adalah foto dari traktor roda 4 yang biasa di gunakan di perkebunan. Baik perkebunan tebu, perkebunan nanas, singkong, kelapa sawit dan lain-lain. Merek dari traktor sendiri bermacam-macam. Tapi menurut saya, yang bagus adalah produk John Deere.
Wednesday, 31 December 2014
Sunday, 28 December 2014
Al Qur'an Audio Free
Disini saya akan membagikan Al Qur'an dalam bentuk audio, gratis. Free. Tinggal download aja. Saya upload di Google Drive. Di jamin aman dari iklan dan sebagainya.
Semoga bermanfaat.
001. Al Fathihah
002. Al Baqarah
003. Ali Imran
004. An Nisaa
005. Al Maidah
006. Al An'aam
007. Al A'raaf
008. Al Anfaal
009. At Taubah
010. Yunus
011. Hud
012. Yusuf
013. Ar Ra'd
014. Ibrahim
015. Al Hijr
016. An Nahl
017. Al Isra
018. Al Kahfi
019. Maryam
020. Tha Ha
021. Al Anbiya
022. Al Hajj
023. Al Mu'minun
024. An Nuur
025. Al Furqaan
026. Asy Syu'araa'
027. An Naml
028. Al Qhashash
029. Al Ankabut
030. Ar Rum
031. Luqman
032. As Sajdah
033. Al Ahzab
034. Saba
035. Fathir
036. Yaasiin
037. Ash Shaffaat
038. Shaad
039. Az Zumar
040. Al Mu'min
041. Fush Shilat
042. Asy Syuura
043. Az Zukhruf
044. Ad Dukhan
045. Al Jatsiyah
046. Al Ahqaaf
047. Muhammad
048. Al Fath
049. Al Hujurat
050. Qaaf
051. Adz Dzaariyaat
052. Ath Thur
053. An Najm
054. Al Qamar
055. Ar Rahman
056. Al Waqi'ah
057. Al Hadid
058. Al Mujadilah
059. Al Hasyr
060. Al Mumtahanah
061. Ash Shaff
062. Al Jumu'ah
063. Al Munafiqun
064. Al Tagharabun
065. At Thalaq
066. At Tahrim
067. Al Mulk
068. Al Qalam
069. Al Haqqah
070. Al Ma'aarij
071. Nuuh
072. Al Jin
073. Al Muzzammil
074. Al Muddatstsir
075. Al Qiyaamah
076. Al Insaan
077. Al Mursalaat
078. An Nabaa
079. An Naazi'at
080. Abasa
081. At Takwir
082. Al Infithar
083. Al Muthaffifin
084. Al Insyiqaaq
085. Al Buruuj
086. Ath Thaariq
087. Al A'laa
088. Al Ghosyiyah
089. Al Fajr
090. Al Balad
091. Asy Syam
092. Al Lail
093. Adh Dhuha
094. Al Insyiraah
095. At Tiin
096. Al Alaaq
097. Al Qadr
098. Al Bayyinah
099. Az Zilzalah
100. Al Adiyat
101. Al Qaari'ah
102. Al Takatsur
103. Al Ashr
104. Al Humazah
105. Al Fiil
106. Al Quraisy
107. Al Ma'uun
108. Al Kautsar
109. Al Kaafirun
110. An Nashr
111. Al Lahab
112. Al Ikhlash
113. Al Falaq
114. An Naas
115. Do'a Khatam
Jika ingin mendownload semuanya, dapat di ambil sekaligus.
Al Qur 'an Audio Lengkap
Terima kasih.... Semoga bermanfaat...
Saturday, 27 December 2014
Cerdas Bermadzhab Selektif dalam Bermadzhab
Mayoritas kaum Muslimin mengikuti pola bermadzhab
dalam menjalankan kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum Muslimin
mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan
al-Asy’ari dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu
al-Hasan al-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian seperti dijelaskan oleh
Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Namun demikian pola
bermadzhab ini tidak jarang disalahpahami oleh mereka yang anti madzhab.
Menurut mereka, ketika seseorang itu mengikuti madzhab suatu imam, maka ia
harus mengikutinya 100 % dari A sampai Z. Tentu saja langkah seperti ini tidak
tepat dan tidak ada dalam logika beragama.
Dalam sebuah dialog terbuka di Masjid al-Mujahidin,
Denpasar, seorang Wahhabi mengatakan kepada kami, “Kalau Anda memang mengikuti
madzhab al-Imam al-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan
selama 7 hari kematian. Karena al-Imam al-Syafi’i sendiri berpendapat bahwa
pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit.” Demikian gugatan orang
Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti
madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam Indonesia
mengikuti madzhab al-Syafi’i, tidak berarti kita menyembah al-Imam al-Syafi’i,
dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau 100 % mulai dari A sampai Z.
Para ulama kita, yang menuntun kita mengikuti
madzhab al-Imam al-Syafi’i mengajarkan agar kita bermadzhab secara selektif dan
korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara manhaji, atau
bermadzhab dengan cerdas.
Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid
terbaik dan penyebar madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi gurunya (Abu
Hanifah) dalam 2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai
pengikut dan penyebar madzhab Hanafi. Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam
banyak masalah menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab
sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.
Dalam madzhab al-Syafi’i sendiri, para ulama
sepakat bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim (pendapat
lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih tinggal di Iraq, dengan qaul
jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad beliau setelah tinggal di Mesir di
akhir hayatnya, harus mengikuti qaul jadid sesuai dengan pesan al-Imam
al-Syafi’i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12 masalah para ulama kita
mengharuskan mengikuti qaul qadim, karena setelah dikaji dan diteliti, qaul
qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut. Hal ini bukan berarti
kita keluar dari madzhab al-Imam al-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab beliau
dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah pahala tahlilan
kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat populer dari al-Imam al-Syafi’i,
bahwa beliau berpendapat, hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada
mayit. Namun sebagian besar pengikut madzhabnya, berpendapat bahwa hadiah
pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayit. Pendapat ini sesuai dengan
pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena itu, siapapun
tidak bisa menggugat pengikut madzhab al-Syafi’i yang melakukan tradisi
pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit, selama
mereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu diketahui bahwa al-Imam al-Syafi’i hanya
berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an saja yang tidak sampai kepada
mayit. Sedangkan hadiah pahala selainnya, seperti selamatan (sedekah),
shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam al-Syafi’i
berpendapat sampai. Oleh karena itu, hadiah pahala selamatan selama tujuh hari,
menurut al-Syafi’i pahalanya bisa sampai kepada mayit.
Kitab
al-Ibanah Karya al-Asy’ari
Gugatan serupa juga saya terima dalam sebuah
diskusi di Surabaya. Seorang tokoh Salafi dari Malang berkata: “Anda mengikuti
madzhab al-Asy’ari, tetapi mengapa Anda tidak mengikuti pendapat al-Asy’ari
yang terdapat dalam kitab al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah?”
Pada waktu itu saya jawab: “Bahwa kitab al-Ibanah
yang ada sekarang tidak memiliki sanad yang shahih kepada al-Imam al-Asy’ari.
Bahkan dari beberapa edisi kitab al-Ibanah yang ada, misalnya al-Ibanah yang
diterbitkan oleh kaum Wahhabi di Saudi Arabia, edisi yang diterbitkan Dr.
Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafizh Ibn ‘Asakir
al-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari, terjadi perbedaan yang cukup
serius. Sementara kitab al-Ibanah yang Anda jadikan dasar gugatan kepada kami
para pengikut madzhabnya, adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan kaum Wahhabi di
Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu hampir mirip Bibel, semua edisi yang
beredar, tidak ada yang sama, pasti terjadi perbedaan.
Dan seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut
memang shahih sanad-nya kepada al-Imam al-Asy’ari, kami para pengikut
madzhabnya tidak berkewajiban mengikutinya. Bukankah para ulama Asya’irah telah
memilih pendapat lain yang berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang
shahih). Hal ini sesuai dengan logika yang berlaku dalam ilmu hadits. Menurut
al-Hafizh al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’ (juz 16, hal. 405), jika
terdapat suatu hadits, sanad-nya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak
ada yang mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut.
Jadi, hadits shahih saja, posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang
pun dari kalangan ulama mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad mereka.
Apalagi hasil ijtihad seorang ulama seperti al-Imam al-Asy’ari. Ketika semua
ulama pengikutnya tidak memakai, kita juga tidak memakai.”
Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata
dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm al-Salaf ‘ala ‘Ilm al-Khalaf (hal. 57):
“Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka
mengikuti hadits shahih di mana pun berada, apabila hadits tersebut diamalkan
oleh para sahabat dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompok
mereka. Adapun hadits shahih yang disepakati ditinggalkan oleh kaum salaf, maka
tidak boleh diamalkan. Karena mereka tidak meninggalkan hadits tersebut,
melainkan setelah mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar
bin Abdul Aziz berkata: “Ikutilah pendapat yang sesuai dengan pendapat
orang-orang sebelum kalian, karena mereka lebih tahu dari pada kalian.”
Meninggalkan
Hadits Shahih
Setelah saya menyampaikan pernyataan di atas, bahwa
hadits yang shahih sekalipun, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama
mujtahid mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan. Ada salah seorang
Salafi bertanya, “Mengapa kita harus memilih pendapat seluruh ulama yang tidak
mengamalkan hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”.
Syaikh Ibn Taimiyah, menulis sebuah kitab berjudul
Raf’u al-Malam ‘an al-Aimmah al-A’lam. Dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah
mengemukakan sepuluh alasan, mengapa seorang mujtahid terkadang menolak
mengamalkan suatu hadits dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk
dikemukakan di sini, setelah memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn
Taimiyah berkata begini:
“Dalam sekian banyak hadits yang ditinggalkan,
boleh jadi seorang ulama meninggalkan suatu hadits karena ia memiliki hujjah
(alasan) yang kita tidak mengetahui hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama
itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para
ulama. Seorang ulama terkadang menyampaikan alasannya, dan terkadang pula tidak
menyampaikannya. Ketika ia menyampaikan alasannya, terkadang sampai kepada
kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketika alasan itu sampai kepada kita,
terkadang kita tidak dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’
ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Raf’u
al-Malam ‘an al-Aimmah al-A’lam, hal. 35).
Hadits
Shahih Pasti Madzhabku
Dalam sebuah diskusi di Denpasar, ketika
membicarakan pendapat al-Imam al-Syafi’i tentang bid’ah, di mana beliau membagi
bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, Ustadz Husni
Abadi, seorang tokoh Wahhabi menggugat kepada kami: “Kita harus mengikuti
hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza
shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits
itulah madzhabku)”.
Maksud pernyataan Ustadz Husni tersebut, hadits
shahih menyatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi menjadi dua. Sementara
pendapat al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua bertentangan dengan hadits
shahih tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan pesan al-Syafi’i sendiri yang
mengatakan, “apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku”,
Husni mengajak kami meninggalkan pembagian bid’ah menjadi dua dan mengikuti
pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi.
Tentu saja asumsi Ustadz Husni tersebut tidak dapat
dibenarkan. Tidak ada korelasi antara pernyataan al-Imam al-Syafi’i di atas
dengan pendapat beliau yang membagi bid’ah menjadi dua.
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan
al-Imam al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu
hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada
suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi’i, sedangkan
al-Syafi’i tidak tahu terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa
kita harus mengikuti hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad al-Imam
al-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut telah diketahui oleh al-Imam
al-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka
sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti
ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
1/64.
Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan
al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab
al-Syafi’i, di mana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil
ijtihad al-Imam al-Syafi’i, Ibn al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits
tersebut sebenarnya madzhab al-Syafi’i, berdasarkan pesan al-Syafi’i di atas,
tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh al-Imam
al-Syafi’i. Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah al-Naisaburi, seorang ulama salaf
yang menyandang gelar Imam al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab
Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui
oleh al-Syafi’i dalam ijtihad beliau? Ibn Khuzaimah menjawab, “Tidak ada”. Hal
tersebut seperti diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang
sangat populer al-Bidayah wa al-Nihayah (juz 10, hal. 253).
Dialog
Syaikh al-Nabhani dengan Rasyid Ridha
Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita
dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita
ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab. Kaum
Wahhabi ketika menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh
hari selalu beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa
hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat
kitab I’anah al-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh
hari. Padahal selain al-Imam al-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka.
Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah
meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan
pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan
anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab.
Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin.
Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti
pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin
yang bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para
sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11
raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani,
seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan
seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum
Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan
seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka
sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab.
Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli
hadits. Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka
sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi.
Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama
salaf dan ahli hadits.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang
pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya
al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus
terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama
ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa
aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia.
Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan
dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani
al-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi
al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika
saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang
pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata:
“Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai
panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian.
Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten
memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama.
Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali
meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari
pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang
kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur.
Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia
tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha
mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur.
Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban:
“Barangkali madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena
jama’ shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan
sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta
antara maghrib dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu
alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa
zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami
sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula
Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah
suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa
kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara
Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah
haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa
ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun
Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha:
“Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin
al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya
sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti
semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh
Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni.
Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha
menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa
Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan
al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian.
Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika
ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu
kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal
ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha
berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan
tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras
kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta
menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam
al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab
ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam al-Ghazali. Karena
kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai
mujtahid muthlaq. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid
muthlaq, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu,
masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu
anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan
mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka,
menjadi mujtahid muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani
dengan disederhanakan.
Lanjutan :Istighatsah dan Tawassul
Cerdas Bermahzab
Tanda-tanda Aliran Sesat
Bukan Ahlusunnsah, tetapi Khawarij
Otoritas Ulama Sumber Liberalisme
Bidah Hasanah
Allah Maha Suci tidak ada tempat
Ngalap Barokah
Istighatsah & Tawassul Hakekat Istighatsah dan Tawassul
Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin
al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh
dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan
tawassul -dan istilah-istilah lain yang sama- dengan definisi sebagai berikut:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau
terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi
atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh
al-Qawim, hal. 378).
Sebagian kalangan memiliki
persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang nabi atau wali untuk
mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau
wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki.
Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang
yang ber-tawassul kafir dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para
pelakunya adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya
(keburukan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyebut nama seorang nabi
atau wali untuk memuliakan keduanya.
Ide dasar dari tawassul ini adalah sebagai berikut.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di
dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh,
Allah subhanahu wa ta’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala
kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya tidak demikian.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari
hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
وَإِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ إلاَّ
عَلَى الْخَاشِعِيْنَ. (البقرة
: ٤٥).
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu’”. (QS. al-Baqarah : 45).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ.
(المائدة : ٣٥).
“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya
(Allah)”. (QS. al-Ma’idah : 35).
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, carilah
sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa
ta’ala akan mewujudkan akibatnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan
tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya
permohonan hamba. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan
akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul
dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala.
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi oleh
syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan
para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka
sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang ber-tawassul, tetap berkeyakinan
bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki
kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah
sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat
mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah subhanahu wa ta’ala
yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal,
Allah subhanahu wa ta’ala juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang
ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali itu sendiri. Sebagaimana orang
yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah
Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat
adalah contoh sabab ‘âdi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab
syar’i (sebab-sebab yang diperkenankan syara’).
Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini, seorang
ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari Lebanon bercerita, “Suatu ketika seorang
Wahhabi dengan beraninya berkata kepada saya, “Mengapa kalian selalu
ber-istighatsah dengan mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”,
tanpa perantara!” Saya bertanya, “Kalau Anda terserang sakit kepala, apa yang
Anda lakukan?” Ia menjawab: “Saya minum dua tablet obat sakit kepada”.
Saya berkata: “Mengapa Anda melakukan itu? Bukankah
Allah itu Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung saja berdoa kepada Allah,
“Ya Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah
aku)”. Mengapa Anda membuat perantara dan sebab musabab untuk kesembuhan antara
anda dengan Allah? Kalau anda minum dua tablet obat tersebut sebagai perantara
kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah menjadikan Muhammad
shallallahu alaihi wasallam sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara
yang paling agung.” Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak dapat menjawab.
Debat
Publik di Melbourne Australia
Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh
Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id
Dimasyqiyat. Karya-karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia. Bahkan
banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui program software Maktabah
Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu siapa
sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat.
Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat
yang pernah disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu menghujat umat
Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (terkemudian).
Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala.
Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela orang-orang yang baik. Ia
lupa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam hadits qudsi,
“Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku deklarasikan perang
terhadapnya.”
Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang banyak tahu
kebusukan masa lalunya. Petualangannya dengan wanita-wanita cantik dan
kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut.
Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas
al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya direkam -rekamannya
masih ada sampai sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup-, di mana dalam
rekaman itu ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo
sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari Azhar
Lebanon pada tahun 1972.
Kasus itu, diakuinya sendiri. Abdurrahman
Dimasyqiyat tidak menepis kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya.
Bahkan tanpa merasa malu ia berterus terang telah melakukannya. Seakan-akan ia
bangga dengan perbuatannya. Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih
belum baligh, catatan amal masih belum berlaku bagiku”.
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari
seseorang yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya. Menyakiti kedua orang
tuanya. Selalu gagal mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil yang halal di
Lebanon dan di Perancis.
Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat
menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis
bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang gendut
berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan kaum anti tawassul.
Di antara mukjizat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati
dengan kaum Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan
bersabda: “Fitnah akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan
diucapkannya sampai tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua orang tahu siapa sebenarnya
Abdurrahman Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia melarikan diri
dari perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang dijanjikan.
Kemudian ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu saja ketika ia
di Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat publik bersama
Syaikh Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut, ragu-ragu dan
berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan teror dan ancaman. Akan
tetapi takdir Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi. Akhirnya perdebatan
terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan pasti
sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat telah berkali-kali diminta
melalui radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun ia selalu melarikan
diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia datang ke aula
Universitas Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Di aula itu telah disiapkan
meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di depannya ada
meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di
tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu Abduraahman
Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk mengeluarkan
dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks dan tidak
menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan orang
yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan
pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi
bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil orang mati
(nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah
(wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar) sebagaimana
ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah.
Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa
Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang
berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.” Lalu Ibn Umar
berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh.
Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat
kalian. Dan ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah
bin Umar, al-Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah
yang kalian sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka
semuanya kafir. Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat
mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan
al-Albani, bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah
bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan Syaikh Salim, mulailah
serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim mengajukan
pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal “Ya
Muhammad”, hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang
di-tahqiq Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal
“Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh Salim
segera mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh
percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya
Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat.
Kemudian, Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika
Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab al-Kalim al-Thayyib karangan Ahmad bin
Taimiyah al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di
mana dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah
judul, “Bab yang diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini
dicetak oleh kaum Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin
mereka yang kontradiktif, yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan
menentang tauhid.
Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari lafal “Ya”
yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat
berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata: “Al-Albani, pemimpin
kalian yang kontradiktif, berkata dalam al-Kalim al-Thayyib hal. 120 dalam
mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan dan dianjurkan oleh Ibn
Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim
al-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik). Al-Albani berkata: “Kami memilih
menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat. Kami menuntut
Anda berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, di mana al-Albani menemukan
manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”, lalu dia anggap
menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut asumsinya. Coba Anda
lihat (hal. 16 kitab al-Kalim al-Thayyib), yang dicetak di percetakan
al-Syawisy al-Wahhabi dengan nama al-Maktab al-Islami, ta’liq (komentar)
Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif. Pernyataan al-Albani
menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan naskah
tersebut dan berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi pertanyaanku
lagi kepada Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut atsar (hadits)
ini dan menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan dan kekufuran.
Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa Abdullah bin Umar,
al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah orang-orang sesat dan kafir.
Atau Anda mencabut pendapat Anda.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi
gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu
Syaikh Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari
jawaban. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan
pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar berdoa, “Ya Muhammad, sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.” Hal ini agar
dilakukan bukan di hadapan Rasul shallallahu alaihi wasallam. Hadits ini
shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan lainnya juga
menilainya shahih.
Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai
Abdurrahman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan
kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam
al-Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin”. Mendapat
pertanyaan tersebut, tampak sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, di mana
moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya
jelas sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrhman Dimasyqiyat
mengakui bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhaddits
al-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain,
seakan-akan mereka yang menulisnya. Di antaranya kitab al-Radd ‘ala Abdillah
al-Habasyi, karya penulis palsu Abdullah al-Syami.
Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang-orang
percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan
merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi menyebut
hadits laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu,
Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafizh yang menilainya
shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa hadits tersebut
shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian
melarang manusia bertawassul dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam bukan di
hadapannya, padahal Rasul shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan
laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya?
Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira bahwa kalian
lebih pandai dari pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang
berperilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak
berkaitan dengan topik pertanyaan.
Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya,
serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban.
Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan
pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk
menutupi kegagalannya. Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh
Abdullah men-tahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian
auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut,
serta mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan
saya punya kopiannya.”
Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan
intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa diperlihatkan kepada
hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul kitab tersebut
membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh
Abdullah. Kitab tersebut justru di-tahqiq dan dikoreksi oleh orang lain,
bernama Husain Nazhim al-Hulwani, dan diberi kata pengantar oleh Syaikh
Muhammad al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan
keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum
Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi
wasallam atau makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kalian mengklaim
mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin
Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi
shallallahu alaihi wasallam, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn
Taimiyah berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim
(hal. 367 terbitan Mathabi’ al-Majd al-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya
memberikan keringanan dalam mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan
tempat duduk dan tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian
mengkafirkan al-Imam Ahmad, di mana kalian mengklaim mengikuti madzhabnya? Atau
kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankah ini
sebuah inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat yang ahli
bid’ah itu tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya. Lebih-lebih
setelah Syaikh Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan al-Mirdawi
al-Hanbali bahwa Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid berkata:
“Disunnatkan mencium hujrah (makam) Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut
mukanya, yang tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh
Salim tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala:
اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى
“Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh Salim
menjelaskan persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau memaparkan
pendapat Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’ Allah
subhanahu wa ta’ala terhadap ‘Arsy bukan seperti istiwa’-nya makhluk. Istiwa’
dalam ayat tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan pula menetap. Akan tetapi
istiwa’ tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah subhanahu wa ta’ala,
yang tidak menyerupai makna istiwa’ ketika disandarkan kepada makhluk,
sebagaimana dalam perkataan al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Allah ber-istawa
sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas
dalam benak manusia.”
Meskipun Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam
menafsrikan istiwa’ dengan makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal
tersebut tidak bisa dibuat alasan mencela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bukankah
Mu’tazilah juga mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain
Allah). Apakah Ahlussunnah harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah
mengucapkannya? Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan berjalan dua jam. Sementara
penjelasan Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan Dimasyqiyat, tidak
mampu memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat
diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan
kerusuhan dan tindakan yang anarkis secara kolektif. Sehingga sebagian hadirin
meminta mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.
Setelah mereka tidak mengindahkan pengumuman,
akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan selesainya acara.
Akhirnya mereka mulai meninggalkan aula Universitas Melbourne. Pada waktu itu,
sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan
tetapi, untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai
sekarang.
Bersama
Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Dialog ini adalah pengalaman pribadi Syaikh Walid
al-Sa’id, seorang ulama Ahlussunnah di Timur Tengah, dengan Syaikh Syu’aib
al-Arnauth, seorang ulama Damaskus, yang terpengaruh ajaran Wahhabi.
Syaikh Walid al-Sa’id bercerita. “Suatu hari saya
mendatangi Syu’aib al-Arnauth di kantornya untuk berdiskusi tentang masalah
tawassul dan istighatsah. Setelah saya bertemu dengannya, saya berbicara
kepadanya tentang masalah tawassul dan saya ajukan hadits riwayat al-Thabarani.
Syu’aib al-Arnauth berkata, “Hadits ini membolehkan
bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya.”
Saya berkata: “Hadits al-Thabarani membolehkan
bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya dan
sesudah meninggalnya. Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani yang
mendatangi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertawassul dengannya
sesudah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Ia berkata: “Hadits ini dha’if.”
Aku berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari. Demikian pula Ibnu Katsir menilainya shahih.”
Ia berkata: “Ibnu Hajar berkata, hadits ini diriwayatkan
oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih kepada Malik al-Dar. Sedangkan Malik
al-Dar ini seorang perawi yang majhul (tidak diketahui kualitasnya). Jadi Malik
al-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam periwayatan hadits.”
Aku berkata: “Malik al-Dar ini diangkat oleh
Khalifah Umar bin al-Khaththab sebagai Bendahara Baitul Mal kaum Muslimin.
Berarti menurut Anda, Khalifah Umar mengangkat seorang laki-laki yang tidak
jelas kualitasnya, apakah dia dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara negara?”
Mendengar sanggahan saya ini, ia terdiam dan tidak
dapat menjawab. Akhirnya dia berbicara lagi kepada saya, “Secara pribadi saya
berpendapat, dalam masalah tawassul ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jadi saya tidak menentang terhadap orang yang melakukannya. Adapun
ber-istighatsah dengan selain Allah, hukumnya jelas haram. Seorang makhluk
tidak boleh ber-istighatsah dengan sesama makhluknya.”
Aku berkata, “Kalau Anda berpendapat bahwa
istighatsah terhadap sesama makhluk dilarang, lalu bagaimana pendapat Anda
tentang hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya dari jalur
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ
اْلأُذُنِ، فَبَيْنَاهُمْ كَذلِكَ
اِسْتَغَاثُوْا بِآَدَمَ.
“Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari
Kiamat, sehingga keringat akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia
dalam kondisi demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi
Adam.” (HR. al-Bukhari [1475]).
Syu’aib berkata: “Hadits ini berkaitan dengan
istighatsah ketika para nabi itu masih hidup, dan memang dibolehkan
ber-istighatsah dengan mereka. Adapun sesudah mereka meninggal, maka tidak
boleh ber-istighatsah dengan mereka.”
Aku berkata: “Kalau begitu, Anda berpendapat boleh
ber-istighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup?” Ia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Tolong jelaskan dalil ‘aqli atau
dalil syar’i yang melarang ber-istighatsah dengan para nabi sesudah mereka
meninggal dunia!”
Ia berkata: “Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad
bin Hanbal dalam Musnad-nya yang sedang aku tahqiq dan belum diterbitkan.
Hadits tersebut adalah begini, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ
إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ.
“Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah denganku.
Beristighatsah hanya kepada Allah.”
Aku berkata: “Kalau bergitu pernyataan Anda
paradoks. Anda tadi berkata ketika saya sampaikan hadits Ibnu Umar (riwayat
al-Bukhari), bahwa ber-istighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup,
itu boleh. Sekarang Anda menyampaikan hadits kepada saya, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya besabda, bahwasanya tidak
boleh ber-istihgatsah denganku.”
Ia berkata, “Maaf, hadits ini dha’if. Jadi tidak
dapat dijadikan hujjah.” Ternyata hadits yang disampaikannya, ia ralat sendiri
dan ia akui sebagai hadits dha’if.
Kemudian ia berkata kepadaku: “Coba aku berikan
contoh seorang imam di antara imam madzhab yang empat yang mendatangi suatu
makam atau seorang wali untuk ber-tabarruk atau ber-istighatsah dengannya.”
Saya berkata: “Al-Khathib al-Baghdadi telah
meri-wayatkan dalam Tarikh Baghdad dengan sanad yang shahih, bahwa al-Imam
al-Syafi’i berkata: “Saya senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Saya
selalu mendatangi makamnya setiap hari dengan berziarah. Apabila saya memiliki
hajat, saya shalat dua raka’at, lalu saya datangi makamnya, saya berdoa kepada
Allah tentang hajatku di sisi makam itu, sehingga tidak lama kemudian hajatku
terkabul.”
Ia berkata dengan berteriak, “Riwayat ini tidak
shahih. Dari mana Anda dapatkan riwayat ini?”
Kebetulan kitab Tarikh Baghdad ada di belakang
punggungnya. Saya berkata kepadanya, “Tolong ambilkan kitab itu.” Setelah kitab
tersebut diserahkan kepada saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu
dan saya perlihatkan kepadanya. Setelah ia melihat riwayat tersebut, ia merasa
heran dan berkata kepada salah seorang pembantunya, “Tolong kualitas para
perawi hadits ini dikaji.”
Dari sikapnya ini, tampak sekali, kalau ia telah
mendidik orang-orang di sekitarnya berani melakukan koreksi terhadap hadits.
Padahal mereka tidak punya kapasitas untuk itu. Kemudian pembantu itu datang
menghampiri. Setelah beberapa lama masuk ke dalam, pembantu itu pun kembali dan
berkata kepadanya dengan suara agak pelan, “Semua perawi hadits ini tsiqah
(dapat dipercaya).”
Lalu saya berkata kepadanya, “Bagaimana hasil
temuan Anda tentang semua perawi hadits ini?”
Ia menjawab: “Semua perawinya dapat dipercaya
kecuali seorang perawi yang belum saya temukan data biografinya. Dengan
demikian hadits ini dha’if, karena ada seorang perawi yang tidak diketahui
kualitasnya.”
Saya berkata: “Bagaimana Anda menghukumi hadits ini
dha’if, berdasarkan alasan, Anda tidak menemukan data biografi seorang
perawinya. Padahal dalam kaedah disebutkan, “Tidak menemukan data, tidak
menjadi bukti bahwa data tersebut memang tidak ada.” Dia berkata: “Apa maksud
kaedah ini?”
Saya berkata: “Apabila Anda tidak menemukan data
seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu dinilai tidak diketahui
kualitasnya dan dha’if.”
Ia berkata: “Kalau Anda bisa menemukan data perawi
ini, saya kasih nilai sepuluh.” Lalu ia berkata: “Saya sekarang sibuk, jadi
tidak mungkin meneliti data perawi ini.” Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya
menjawab: “Namaku Walid al-Sa’id, murid Syaikh al-Harari.”
Demikianlah pandangan kaum Wahhabi yang
mengkafirkan orang yang bertawassul dengan nabi atau wali. Pendapat mereka,
selain rapuh, tidak memiliki dasar dari al-Qur’an dan hadits, juga berimplikasi
pada pengkafiran terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat,
para ulama salaf dan seluruh umat Islam selain golongannya. Na’udzu billah min
dzalik. Pandangan Wahhabi akan rapuh ketika dihadapkan dengan fakta, bahwa
tawassul dengan nabi yang sudah wafat telah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, generasi salaf, ahli hadits dan kaum
Muslimin. Ihdina al-shirath al-mustaqim.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
1. PENDAHULUAN Perkembangan pertanian dewasa ini menunjukkan kemajuan yang semakin pesat. Namun bersamaan dengan itu banyak segi yang secara...
-
📌 Bersikap lembut kepada istri dengan langsung menyuapkan makanan ke mulutnya ✍️ Rasulullah ﷺَ bersabda : إنك لن تنفق نفقة إلا أجرت عليها ح...
-
✍️ Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah 📌Barangsiapa melihat seorang muslim minum, makan, atau mengerjakan perkara lain yang bisa membat...
