Pemuliaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum)
ASAL DAN SEJARAH TANAMAN TEBU
Tebu merupakan anggota genus Saccharum, famili Graminae dan tribe Andropogoneae. Ada lima spesies dari genus Saccharum yang bermanfaat bagi pemuliaan tanaman (Wrigley, 1981) yaitu :
1. Saccharum officinarum L.(2n = 180)
Merupakan spesies yang dibudidayakan (oleh sebab itu sering
disebut noble cane)dengan sifat batang berwarna terang, lunak, tebal, kandungan
sukrosa tinggi, kandungan serat rendah, daun lebar. Sangat peka terhadappenyakit-penyakit
utama , kecuali penyakit gummosis Xanthomonas vasculorum) dan
jelaga/smut(Ustilagos citaminae). Otaheite (sinonim dengan Bourbon, Lahaina,
Vellai) merupakan noble cane yang pertama dibudidayakan secara luas,
selanjutnya diikuti oleh seri Cheribon.
2. Saccharum spontaneum L. (2n = 40 -128)
Merupakan tebu liar di daerah Pasifik dan Asia (di Pulau Jawa
disebut dengan glagah). Spesies ini merupakan sumber resistensi untuk beberapa
penyakit utama seperti “sereh”, mosaik, gummosis, busuk merah (Physalospora
tucumanensis), embun tepung (Sclerospora sacchari). Spesies ini merupakan
rerumputan tahunan dari mulai ukuran yang pendek hingga tinggi, ruasnya panjang
langsing dengan lubang pit di tengah batang, batang berwarna hijau-kuning
hingga putih.Rhizoma membentuk banyak anakan.
3. Saccharum barberi Jeswiet (2n = 82 – 124)
Merupakan tebu India. Batangnya keras dan langsing dengan
kandungan serat yang tinggi. Kebal terhadap penyakit gummosis dan mosaik,
resisten terhadap penyakit embun tepung.
4. Saccaharum sinense Roxb.emend. Jeswiet (2n = 82 – 124)
Disebut dengan tebu Cina atau Uba. Kandungan sukrosanya sedang
dengan serat yang tinggi, batang sedang ketebalannya dengan daun yang medium
hingga sempit. Kebal terhadap penyakit embun tepung.
5. Saccharum robustum Brandes et Jesweit ex Grassl. (2n = 60 – 194)
Merupakan tebu liar yang berasal dari New Guinea dan Melanesia.
Tumbuh hingga 9 meter. Batangnya keras berkayu dengan lubang di tengahnya. Kandungan
sukrosanya rendah. Resisten terhadap busuk merah.
Ilustrasi tebu
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa industri gula tebu
memanfaatkan spesies Saccharum officinarum (noble cane) yang diduga berasal
dari daerah Pasifik Selatan yaitu kemungkinan di New Guinea (Pulau Irian bagian
Timur) dan selanjutnya menyebar ke tiga arah migrasi yang berbeda (Blackburn,
1984). Pertama, dimulai pada 8000 tahun Sebelum Masehi yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. Kedua,
dimulai sekitar 6000 tahun Sebelum Masehi ke Filipina, Pulau Kalimantan, Pulau
Jawa, Malaysia dan Burma serta India. Dan ketiga, antara tahun 500 hingga 1100
Sesudah Masehi yaitu ke Fiji, Tonga, Tahiti, Marquesa dan Hawaii. Walaupun tebu
merupakan tanaman tropis, namun kenyataannya saat ini beberapa industri gula
tebu yang besar dan berhasil justru berada di daerah subtropis yaitu terletak di
antara lintang 150 – 300 seperti daerah Brasil Selatan dan tengah, Kuba,
Meksiko, Afrika Selatan, Indi, Cina, Australia dan Hawaii. Perkembangan yang
luas dan besar dalam pengelolaan dan teknologi lapang berlangsung pada abad dua
puluh, sehingga pusat-pusat penelitian dan stasiun lapang didirikan di
negara-negara penghasil gula (Hayes et al., 1955; Wrigley, 1981; Blackburn, 1984),
seperti Proefstation voor de Java Suikerindustrie, Pasuruan (Indonesia sekarang
bernama P3G), BWI, Central Sugar Cane Breeding Station (Barbados), Queensland
Bureu of Experiment Stations (Australia), Hawaiian Sugar Planters Association, Honolulu
(Hawaii), Mauritius Sugar Industry Research Institute, Reduit (Mauritius), Mount
Edgecombe, Natal (Afrika Selatan) dan di Amerika Serikat (Baton Rouge, Lousina
dan Canal Point, Florida). Salah satu tujuan didirikan pusat- pusat penelitian tersebut
adalah untuk menghasilkan varietas/klon yang berproduksi tinggi, resisten terhadap
penyakit sertasifat- sifat baik lainnya.
Ilustrasi tebu
PEMBUNGAAN, PENYERBUKAN DAN PEMBENTUKAN BIJI
Pembungaan suatu spesies tanaman perlu diketahui dan dipahami
karena di dalam pemuliaan tanaman, pembungaan berhubungan erat dengan sistem
dan strategi pemuliaan yang akan dilakukan. Pada tebu, hampir semua spesies
dari genus Saccharum tidak akan berbunga pada panjanghari lebih dari 12 jam,
kecuali S. spontaneum yang memang merupakan tanaman hari panjang. Umumnya
dibutuhkan paling sedikit 10 jam dan paling banyak 12,5 jam dan suhu malam 20 -
250 C untuk terjadinya inisiasi bunga. Tanda awal munculnya bunga adalah
munculnya seludang daun yang panjang tetapi helai daunnya pendek (disebut
dengan daun bendera). Seludang daun menutupi panikel yang masih muda. Akhirnya
batang tebu memanjang dan mendorong panikel bunga keluar. Bunga tebu secara
visual berbentuk seperti panah, sehingga sering pada literatur bunga tebu disebut
‘arrow’. Spikelet membuka pada malam hari hingga pagi buta, dimulai dari
panikel bagian atas selanjutnya ke arah bawah. Kelembaban udara yang tinggi
dapat memperlambat anthesis. Secara alami, terjadi penyerbukan silang dengan
bantuan angin. Pollen viable hanya pada waktu yang singkat dan anther akan
gugur dari filamen setelah anthesis, sebaliknya stigma tetap persisten. Setelah
terjadi penyerbukan dan pembuahan, dibutuhkan 21 – 25 hari untuk pengisian dan
pemasakan biji. Keluarnya bunga akan mengakhiri pembentukan daun baru pada
batang sehingga tumbuh cabang vegetatif dari buku terbawah, selain itu adanya
pembungaan akan mengurangi kandungan sukrosa pada batang tebu. Oleh karena itu
pada budidaya tebu sering dilakukan perlambatan pembungaan agar kandungan
sukrosa tetap tinggi. Biji hasil pembungaan merupakan biji caryopsis dari satu
karpel, perikarpnya menyatu dengan testa. Biji berbentuk ovate, berwarna coklat
kekuning-kuningan dan berukuran amat kecil sekitar 1 mm panjangnya. Biji
tersebut dengan cepat kehilangan viabilitasnya, tetapi bila disimpan dalam suhu
rendah dapat dipertahankan paling tidak selama tiga tahun.
Memperkirakan fertilitas biji secara kuantitatif sangatlah penting bagi pemuliaan tebu seperti yang dipaparkan oleh Walker (1980) dalam Blackburn (1984) sebagai berikut : Infloresens “arrow” terdiri dari 25 000 spikelet, tetapi jumlah yang dibuahi dan fertile hanya sekitar 3 – 33 %, yaitu sekitar 700 spikelet yang akan berkembang menjadi biji. Biji tebu tidak mengalami dormansi, perkecambahan biji embutuhkan waktu 2 – 8 hari pada suhu 35 %. Kecambah muda sangat lambat pertumbuhannya hingga fase empat daun, tetapi selanjutnya pertumbuhan berjalan dengan cepat.
Memperkirakan fertilitas biji secara kuantitatif sangatlah penting bagi pemuliaan tebu seperti yang dipaparkan oleh Walker (1980) dalam Blackburn (1984) sebagai berikut : Infloresens “arrow” terdiri dari 25 000 spikelet, tetapi jumlah yang dibuahi dan fertile hanya sekitar 3 – 33 %, yaitu sekitar 700 spikelet yang akan berkembang menjadi biji. Biji tebu tidak mengalami dormansi, perkecambahan biji embutuhkan waktu 2 – 8 hari pada suhu 35 %. Kecambah muda sangat lambat pertumbuhannya hingga fase empat daun, tetapi selanjutnya pertumbuhan berjalan dengan cepat.
PEMULIAAN
Pekerjaan yang pertama dan sangat penting terjadi di Pulau Jawa, di mana tujuan utamanya adalah mendapatkan varietas yang resisten terhadap penyakit “sereh” yang menimbulkan kerusakan yang berat pada noble cane (Saccharum officinarum) seperti yang menyerang varietas Othaeite dan seri Cheribon. Spesies liar, khususnya Saccharunm spontaneum diketahui resisten terhadap penyakit “sereh” dan penyakit tebu lainnya, sehingga Saccharum spontaneum disilangbalikkan (backcross) dengan noblecane. Proses tersebut diistilahkan dengan “nobilisasi” (nobilization), dan hasil persilangan tersebut dinamakan “nobilized cane”. Tebu ajaib yang melegenda tersebut adalah POJ 2878 (POJ = Proefstation Oost Java) yang dihasilkan oleh Jeswiet pada tahun 1929 dan secara luas dibudidayakan sebagai varietas komersial standar di beberapa negara pada saat itu seperti di Hawaii, Guyana, Inggris, Barbados, Jamaika, Kuba, Kolombia, Meksiko, selain tentunya di Pulau JaWA (Stevenson, 1965; Martin, dkk, 1961; Barnes, 1974; Wrigley, 1981dan Blackburn, 1984). Tebu merupakan tanaman menyerbuk silang dengan bantuan angin, sering bersifat poliploid, dan terkadang aneuploid. Karena menyerbuk silang dan diperbanyak secara klonal maka heterozigousnya tinggi dan tidak toleran terhadap inbreeding penyerbukan sendiri). Persilangan antar klon akan meningkatkan keragaman pada progeni F1, dan pemuliaan tebu dapat menggunakan keragaman ini untuk membentuk klon yang baru. Persilangan dapat bersifat berpasangan (biparental cross, di mana baik tetua jantan dan betina diketahui), atau dapat pula berupa persilangan jamak (polycross, di mana tetua betina diketahui, sedangkan tetua jantan beragam genotipnya dan tidak diketahui).
Untuk itu perlu diketahui daya gabung umum dan daya gabung
khusus untuk masingmasing klon calon tetua. Program persilangan biparental
lebih sering dilakukan dibandingkan persilangan polycross. Polycross banyak
dilakukan di Hawaii dengan menggunakan metode “melting pot” (akan dijelaskan
lebih lanjut) untuk pemuliaan dengan tujuan tertentu seperti varietas yang
sesuai dengan kondisi “mauka” (dalam bahasa Hawaii berarti elevasi tempat yang
tinggi). Dalam melakukan persilangan terdapat beberapa metode yang dapat membantu untuk mempermudah persilangan.
Setelah persilangan terjadi, selanjutnya dilakukan seleksi (akan dijelaskan lebih lanjut). Dengan berjalannya waktu akan diperoleh akumulasi pool tetua, beberapa di antaranya dapat dilepas sebagai klon terbaik untuk daerah tertentu, beberapa lagi tidak cukup baik untuk diusahakan secara komersial, sebagian lagi disingkirkan karena tidak sesuai dengan tujuan pemuliaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada semua program pemuliaan,pool tersebut akan selalu berubah dimana pendatang baru akan masuk sedangkan yang lainnya keluar (Blackburn, 1984).
Setelah persilangan terjadi, selanjutnya dilakukan seleksi (akan dijelaskan lebih lanjut). Dengan berjalannya waktu akan diperoleh akumulasi pool tetua, beberapa di antaranya dapat dilepas sebagai klon terbaik untuk daerah tertentu, beberapa lagi tidak cukup baik untuk diusahakan secara komersial, sebagian lagi disingkirkan karena tidak sesuai dengan tujuan pemuliaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada semua program pemuliaan,pool tersebut akan selalu berubah dimana pendatang baru akan masuk sedangkan yang lainnya keluar (Blackburn, 1984).
METODE PENGENDALIAN UNTUK MEMPERMUDAH PERSILANGAN
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa tebu merupakan tanaman menyerbuk silang, mempunyai batang yang relatif tinggi, penyerbukan terjadi
pada malam hari hingga pagi buta serta penyerbukan diperlukan suhu udara yang
hangat, maka dikenal beberapa metode yang diciptakan untuk mempermudah
persilangan. Metode “lantern” (dalam bahasa Indonesia berarti selubung)Kemajuan
utama untuk mengendalikan pemuliaan tebu adalah ditemukannya sifat male
sterility yang dapat digunakan sebagai induk betina yang dapat dibuahi dengan pollen
dari induk jantan yang diinginkan untuk memperoleh progeny (keturunan) yang diketahui
tetuanya. Pada metode “lantern” persilangan dilakukan di lapang,di mana bunga “arrow” diselubungi dengan “lantern” untuk mencegah masukknya pollen yang
tidak diinginkan. Dan pada saat yang bersamaan pollen dari tetua jantan yang
telah ditetapkan juga dimasukkan ke dalam “lantern” . Biji kemudian dibiarkan
masak dan setelah lebih kurang tiga minggu, panikel yang terdiri dari biji yang
masak (tidak lagi disebut “arrow” melainkan “fuzz”) dikumpulkan,diekstrak dan
disemai. Lantern dapat dibuat dengan berbagai ukuran dan bentuk. Metode ini
ditemukan oleh D’Albequerque dan Skeete (Stevenson , 1965; Blackburn, 1984)
Metode “Marcotting” (sinonim dengan mencangkok)
Perkembangan lain dalam mengendalikan persilangan pada tebu
adalah menggunakan marcotting. Primordia akar yang terdapat di masing-masing noda
(buku) dapat diinduksi di lapang dengan menutupi buku yang terpilih dengan
kertas aluminium atau plastik yang berisi medium perakaran seperti tanah lembab
atau gambut. Bahan stimulan perakaran dapat pula diinjeksikan ke batang yaitu
di antara buku ketiga dan keempat di bawah daerah “marcotte”. Sesaat sebelum bunga “arrow” muncul, batang
tebu dipotong tepat di bawah wadah. Penutup plastik kemudian di buka dan
dibuang, selanjutnya dipindahkan ke pot atau tabung yang berisi tanah, dan
diletakkan di rumah kaca. Bunga akan muncul, dan pengendalian persilangan
dilakukan dengan cara
menggabungkan bunga dari tetua jantan dan betina di dalam satu selubung kain.
Metode ini cocok digunakan pada daerah-daerah di mana suhu malam hari amat
rendah seperti di daerah Afrika, padahal seperti diketahui penyerbukan tebu
terjadi malam hari pada suhu yang relatif hangat, sehingga bila suhu rendah
akan mempengaruhi fertilitas. Hanya dengan memindahkan batang tebu “marcotte”
ke rumah kaca yang hangat maka persilangan dapat terjadi. Metode larutan ala
Hawaii Metode yang dikembangkan oleh Verret dan Mangelsdorf banyak digunakan
oleh pemulia karena menghemat tenaga kerja untuk pekerjaan persilangan. Bunga
yang menjelang mekar beserta sebagian kecil dari batang tebu dipotong dan
dicelupkan ke dalam wadah berisi air. Bunga akan membuka secara normal, namun
bunga akan mati dalam waktu beberapa hari. Kematian diduga disebabkan oleh
blokade pada xylem (pembuluh kayu) oleh bakteri. Sehingga untuk memperpanjang
umur bunga digunakan larutan yang mengandung bakterisida seperti asam sulfurous
atau asam fosforik. Persilangan dilakukan dengan meletakkan potongan bunga
jantan lebih tinggi daripada potongan bunga betina. Setelah penyerbukan
selesai, bunga jantan disingkirkan, sebaliknya bunga betina dipelihara hingga
biji masak (fuzz). Selama periode ini, larutan diganti setiap 2 – 3 hari. Bila
biji telah matang, panikel dikantongi dan selanjutnya biji dikeringkan.
Metode “melting pot” (Pot pelebur/pencampur) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode “melting pot” digunakan untuk membantu melakukan persilangan polycross, dimana tetua betina (yang malesterility) diketahui, sedangkan tetua jantan berasal dari genotip yang beragam (dalam pemuliaan, sering juga diistilahkan sebagai half-sib). Penyerbukan random dilakukan dengan menggoyang-goyangkan bunga jantan secara terartur. Biji yang dihasilkan selanjutnya dikumpulkan, dikecambahkan dan dievaluasi, keuntungan dari metode ini adalah dihasilkan banyak kombinasi tetua dengan biaya pengerjaan yang minimum, sedang kerugiannya adalah genotipe tetua jantan tidak diketahui.
Metode “melting pot” (Pot pelebur/pencampur) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode “melting pot” digunakan untuk membantu melakukan persilangan polycross, dimana tetua betina (yang malesterility) diketahui, sedangkan tetua jantan berasal dari genotip yang beragam (dalam pemuliaan, sering juga diistilahkan sebagai half-sib). Penyerbukan random dilakukan dengan menggoyang-goyangkan bunga jantan secara terartur. Biji yang dihasilkan selanjutnya dikumpulkan, dikecambahkan dan dievaluasi, keuntungan dari metode ini adalah dihasilkan banyak kombinasi tetua dengan biaya pengerjaan yang minimum, sedang kerugiannya adalah genotipe tetua jantan tidak diketahui.
Ilustrasi tebu
SELEKSI
Seleksi pemuliaan tanaman tebu didasarkan pada percobaan yang terdiri dari 3 hingga 6 tahap (Blackburn 1984). Pada tahap pertama biji dikecambahkan (tanpa ulangan pada tahap kedua, satu atau dua baris klon perbanyakan vegetative dari tanaman tahap pertama) ditumbuhkan tanpa ulangan. Pada tahap ketiga, percobaan dilakukan pada plot yang lebih besar dapat tanpa atau dengan ulangan. Pada tahap keempat umumnya terdiri dari seri percobaan dengan ulangan dan menggunakan plot dengan baris tanaman pinggir serta menggunakan rancangan percobaan dan analisis statistik untuk interpretasi data. Tahap lima dan enam merupakan pekerjaan perbanyakan vegetatif dari klon/varietas yang terseleksi untuk disebarkan kepada petani untuk pengujian lebih lanjut. Meskipun demikian ada banyak variasi dalam detail seleksi ini.
Kemajuan seleksi dipengaruhi oleh nilai heritabilitas dari
karakter yang diamati. Hampir semua karakter yang penting secara ekonomis pada
tebu mempunyai nilai heritabilitas yang rendah, namun pemulia tanaman sepakat bahwa
karakter kandungan sukrosa memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan interaksi
genotip – lingkungannya (GxE interaction) yang rendah (Stevenson, 1965;
Blackburn, 1984). Sehingga kandungan sukrosa dapat digunakan sebagai kriteria
seleksi pada percobaan tahap generasi awal, yaitu tahap pertama dan kedua.
Kandungan gula tersebut ditaksir dengan menggunakan refraktometer tangan untuk
mendapatkan nilai Brix. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa nilai
heritabilitas berturut-turut menurun pada karakter ketebalan batang, jumlah batang
per satuan luas dan panjang batang (Blackburn, 1984). Bila nilai heritabilitas
komponen hasil tebu diketahui maka modifikasi seleksi dapat dilakukan untuk
meningkatkan efisiensinya.
Pengujian serangan penyakit juga dilakukan. Resistensi tanaman kadang dapat diestimasi secara sederhana yaitu dengan mengamati serangan penyakit secara alami pada plot-plot percobaan yang terdapat pada kondisi yang memungkinkan infeksi penyakit. Tetapi terkadang dibutuhkan laboratorium khusus atau pengujian lapang dengan melakukan inokulasi penyakit. Biasanya inokulasi penyakit dilakukan pada seleksi tahap akhir (tahap empat atau lima) untuk mencegah serangan pada klon yang peka dan mencegah resurgensi dari penyakit tersebut (Blackburn, 1984).
Akhir-akhir ini pemulia tebu juga memanfaatkan teknik baru seperti induksi mutasi dan kultur jaringan. Untuk menghilangkan karakter yang tidak disukai dari varietas komersil yang baik, stek tebu diirradiasi, selanjutnya mutasi diamati. Beberapa mutan tebu telah dihasilkan seperti dapat mengurangi pembungaan (agar kandungan sukrosa tetap tinggi), resistensi terhadap busuk merah, dan ketidakhadiran seludang daun yang keras (sehingga memudahkan pemanenan dengan tangan). Kultur jaringan untuk diferensiasi subklonal juga berhasil dilakukan. Karena adanya keragaman somatick (variation somaclonal) maka subklonal akan berbeda dalam junlah kromosom dan beberapa karakter lainnya. Teknik-teknik baru ini terus berkembang dan dibutuhkan tetapi tidak untuk menggeser peranan rekombinasi seksual secara konvensional pada pemuliaaan tebu.
Dasar kepentingan dari semua percobaan pemuliaan tebu adalah menghasilkan klon baru yang lebih unggul daripada klon komersil standar pada saat itu. Untuk itu harus dibuat peringkat dari klon-klon baru tersebut dibandingkan klon standar pada lingkungan yang berbeda. Pada tahap akhir seleksi, pemulia akan melepas klon unggul (paling tidak untuk sifat kandungan sukrosa dan hasil tebu per hektarnya tinggi) kepada petani untuk ditanam pada lingkunga yang berbeda. Petani akan melengkapi proses pengujian dengan mengamati dalam skala lapang tentang aspek-aspek penting seperti penggunaan tenaga kerja, kebutuhan akan pengendalian gulma, toleransi terhadap herbisida, batang tebu. Karakter-karakter tersebut tidak diuji dengan baik oleh pemulia, namun demikian karakter tersebut berpengaruh secara ekonomis.
PENGGUNAAN VARIETAS OLEH PETANI
Setelah Perang Dunia Kedua, hampir semua pertanaman tebu di
dunia
menggunakan “nobilized cane” dibandingkan “noble cane”. Seperti diketahui, “noble
cane” merupakan tebu hasil seleksi dan persilangan dari spesies Saccharum
oficinarum, contoh dari “noble cane” adalah Otaheite dan seri Cheribon. Tetapi
karena peka terhadap penyakit-penyakit utama, maka “noble cane”
disilangbalikkan dengan Saccharum spontaneum yang merupakan sumber ketahanan
bagi penyakit-penyakit utama. Noble cane yang lebih dimuliakan tersebut
menghasilkan tebu nobilized cane. Walaupun tidak lagi ditanam secara komersial,
namun noble cane masih dipakai sebagai sumber tetua untuk pemuliaan tebu. Di
Indonesia, hingga tahun 1994, klon tebu yang paling banyak diusahakan adalah PS
8, PS 30, PS 41, PS 62, PS 63, POJ 3016, POJ 2961 dan POJ 3067 (Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertania, 1992; Sutarjo, 1994).
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1992. 5 Tahun
(1987-1991) Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sumbangan dalam Menyongsong
Era tinggal Landas. 116 hal.
Barnes, A.C. 1974. The Sugar Cane. Leonard Hill Books, New York.
572 p.
Blackburn, F. 1984. Sugar Cane. Longman Group Ltd., London. 414p
Hayes, H.K., F.R. Immer and D.C. Smith. 1955. Methods of Plant Breeding, Mc Graw- Hill Book Co., Inc., New
York. 551p.
Martin, J.P., E.V. Abbott and C.G. Hughes. 1961. Sugar Cane
Diseases of The World. Elsevier Publ., Co. Amsterdam. 542p.
Stevenson, G.C. 1965. Genetics and Breeding of Sugar Cane.
Longmans, London. 284 p.
Sutarjo, R.M.E. 1994. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara,
Jakarta. 76 hal. Wrigley, G. 1981. Tropical Agriculture. Longman, London. 496
p.
Sumber :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1110
Comments
(Si Andi)
buka blog saya yang lain di puputwawan.wordpress.com ya om....